BAB
II
KERANGKA
TEORI DAN PENGEMBANGAN MODEL
1. Hakikat Kompetensi dan
Kemampuan Pemecahan Masalah
a. Pengertian Kompetensi
Kompetensi adalah kapasitas,
ketrampilan, atau kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan benar dan secara
efisien, atau suatu lingkup kemampuan seseorang atau suatu kelompok (Oxford Advance Learner’s Dictionary of
Current English, 1995:232). Gagne, Leslie & Wager, (1992:43)
menjelaskan kapabilitas atau kemampuan merupakan suatu daya atau kekuatan yang
dapat diamati yang merupakan hasil dari belajar. Terbentuknya melalui proses belajar yang berlangsung secara
terus-menerus dan dalam waktu yang lama (Gagne (1977:51). Kemampuan adalah kinerja maksimum dari proses belajar yang
lama tersebut (Gronlund & Linn, 1990:11). Kemampuan sebagai hasil belajar
dalam bentuk perubahan perilaku pada diri pebelajar sebagai hasil dari
pengalamannya dapat digunakan untuk mengukur tinggi rendahnya hasil belajar (Reigeluth,
1983:9). Hasil belajar merupakan perilaku yang dapat diamati dan menunjukkan
kemampuan yang dimiliki oleh seseorang.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Pasal 1 butir 4 dan Pasal 25)
tercantum istilah standar kompetensi lulusan, yang dimaksud adalah kualifikasi
kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan, standar
kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan
kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan; untuk penentuan kelulusan
meliputi kompetensi seluruh mata kuliah atau kelompok mata kuliah. Jadi jelas
bahwa kompetensi adalah merujuk pada serangkaian kemampuan yang mencakup ranah
sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Dalam konteks pembelajaran di kelas, aktivitas
yang dinyatakan dalam suatu tujuan pembelajaran dapat terbentuk dari sejumlah
kemampuan. Sebagai contoh kemampuan pemecahan masalah Akuntansi tentang
posting kedalam buku besar, terbentuk
dari serangkaian kemampuan: analisis bukti transaksi, analisis letak debit dan
kredit rekening yang berkaitan serta kemampuan mengenali komposisi perubahan
persamaan Akuntansi H = U+M atau Harta = Utang + Modal.
Gagne & Briggs (Reigeluth, 1983:81;
Gagne & Briggs, 1988:67) mengemukakan istilah kemampuan untuk menyatakan
karakteristik umum dari berbagai variasi kinerja yang dihasilkan dari proses
belajar, dan mengidentifikasi beberapa kategori kemampuan yang merupakan bentuk
variasi kinerja sebagai hasil belajar, yaitu (1) informasi verbal, (2)
ketrampilan intelektual, (3) strategi kognitif, (4) ketrampilan motorik dan (5)
sikap.
Dalam ketrampilan intelektual terkandung
7(tujuh) kemampuan yang bersifat kontinum dari yang paling sederhana sampai
yang paling rumit, yaitu: (1) menghubungkan stimulus dan respon, (2)
menghubungkan satu konsep dengan konsep yang lain, (3) membuat asosiasi verbal,
(4) membedakan (discrimination), (5)
mempelajari konsep, (6) mempelajari prinsip/aturan atau rumus, dan (7)
memecahkan masalah. Tiga jenis kemampuan (1), (2) dan (3) merupakan kemampuan
dasar yang diperoleh sejak kanak-kanak dan dianggap kurang penting bagi proses
belajar kalangan pebelajar; keempat lainnya yakni membedakan, konsep, prinsip
dan aturan serta pemecahan masalah, merupakan komponen yang sangat penting bagi
belajar kalangan pebelajar.
Bloom (2001:45-46 dan 67-68); Anderson
(2003:29) membedakan hasil belajar menjadi 4(empat) dimensi pengetahuan dan
6(enam) kategori dimensi proses kognitif. Dimensi pengetahuan terdiri dari: (1)
fakta (factual), (2) konsep (conceptual), (3) prosedur (procedural), dan (4) metakognitif (metacognitive). Dimensi proses kognitif
dibedakan menjadi (1) mengingat (remember),
(2) mengerti (understand), (3)
penerapan (apply), (4) analisis (analyze), (5) evaluasi (evaluate), dan (6) berbuat (create).
Kompetensi berkait erat dengan
spesifikasi pekerjaan. Dalam situasi keterlibatan individu dalam organisasi
kompetensi yang dituntut adalah kemampuan berkomunikasi verbal, inisiatif,
kemampuan memutuskan, toleransi, pemecahan masalah, dan kemampuan menyesuaikan
diri (Kreitner dan Knicki, 2000:185). Bagi seorang guru, kompetensi yang
dituntut adalah spesifikasi kemampuan dan keterampilan pada bidang pedagogik,
kepribadian, profesional, dan sosial (PP 19 tahun 2005, Pasal 28 ayat (3)).
Terkait dengan deskripsi kompetensi
sebagai tingkah laku unjuk kerja (tasks
performed), penguasaan materi dan pengetahuan berhubungan dengan tingkah
laku unjuk kerja tersebut dan dapat dikatagorikan menjadi 4(empat) tingkat,
yaitu: (1) pemula (novice), (2)
menengah (intermediate), (3) lanjut (advanced), dan (4) ahli (expert).
Setelah ditelaah terdapat tiga unsur
penting kesamaan substansi pengertian, yaitu bahwa kompetensi atau
kemampuan:(1) merupakan suatu kecakapan tuntas atau hasil belajar tuntas, (2)
diperoleh melalui suatu kinerja, dan (3) adanya patokan atau kriteria. Ada lima
kategori kemampuan hasil belajar yang diperoleh dari suatu kinerja yaitu
ketrampilan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal, gerak, dan sikap.
Jika mengikuti paparan pendapat di atas,
maka ada perbedaan mendasar antara kemampuan dan keterampilan, kemampuan menunjukkan ciri luas dan karakteristik
tanggungjawab yang stabil pada tingkat prestasi yang maksimal berlawanan dengan
kemampuan kerja mental maupun fisik; sedangkan keterampilan adalah kapasitas
khusus untuk memanipulasi obyek secara fisik. Oleh sebab itu prestasi akan
dapat dicapai sangat tergantung pada
kombinasi faktor usaha, kemampuan dan keterampilan (Kreitner dan Kinicki,
2000:185). Kompetensi merupakan istilah untuk menjelaskan kemampuan dan
keterampilan itu. Kemampuan pemecahan masalah dalam Akuntansi merupakan
kompetensi karena dalam prosedurnya ada kombinasi faktor usaha, kemampuan dan
keterampilan dari si pemecah masalah.
b.
Kemampuan Pemecahan Masalah
Kemampuan pemecahan masalah adalah
proses kognitif bertalian dengan kemampuan analisis, evaluasi dan kreasi; Bloom
dalam taksonominya menggolongkan kedalam ranah berpikir pengetahuan tingkat
tinggi (higher order or higher level
cognitive processes). Proses berpikir ini melibatkan kemampuan membedakan (differentiating), pengorganisasian (organizing), atribusi (attributing), pengecekan (checking), mengkritik (critiquing), penyimpulan (generating), perencanaan (planning), dan produksi (producing) (Anderson, 2003:77).
Kemampuan identifikasi masalah termasuk
proses kognitif kemampuan pemecahan masalah. Nowakowski et al. (1985:31)
menjelaskan hal itu:
Problem identification requires that the
student be able to differentiate between relevant and irrelevant components of
a situation. Identification of the problem includes specification of the
effects of interest as well as aspects of the context which should be
considered.
Contoh-contoh kemampuan identifikasi itu
pada pebelajar antara lain : (1) menjelaskan hubungan sebab dan akibat, (2)
diskusi aspek-aspek yang relevan dan yang tidak relevan dengan masalah, (3)
mengantisipasi konsekuensi dari pemecahan masalah dalam jangka pendek dan
jangka panjang, (4) punya argumentasi yang relevan dengan pemecahan masalah
yang dicari, (5) dapat menyajikan masalah dan elemen-elemen kunci kepada orang
lain.
Rowe (2004: 67) mempertegas perbedaan
individu terletak pada kreativitas kecakapan, dan pada penggunaan cara yang
berbeda untuk pendekatan pemecahan masalah. Cara pendekatan yang terbaik,
dikatakannya sangat tergantung pada corak kreativitas kecakapan pemecah masalah
dan jenis masalah. Pemecahan masalah yang kreatif tidak berarti sudah menemukan
solusi yang bagus, tetapi juga mempertimbangkan siapa pelakunya, bagaimana
prosedurnya, dan bagaimana solusi itu dilaksanakan. Menemukan pemecahan masalah
yang bagus dipandang belum cukup untuk dikatakan menguasai kemampuan pemecahan
masalah.
Merill telah mengembangkan elaborasi
taksonomi tujuan kognitif yang cocok untuk rancangan pengajaran mikro dikenal
dengan Component Display Theory (CDT)
(Merill, 1983:111; Suciati, 2001:23-25).
Terdapat 2(dua) tujuan kognitif menurut CDT, yakni menurut tingkat perilaku (level of performance) dan menurut jenis
materi bahan belajar (type of content).
Tingkat perilaku dibagi kedalam ragam (1) menemukan (find), (2) menggunakan (use),
dan (3) mengingat (remembering);
sedangkan jenis materi dikategori menjadi (1) fakta, (2) konsep, (3) prosedur,
dan (4) prinsip. Dalam menentukan tujuan pembelajaran dapat menggunakan dua
kriteria yakni perilaku yang diharapkan dan materi yang akan diajarkan.
Kategori perilaku yang diharapkan sebagai hasil belajar adalah (1) mengingat,
(2) menggunakan, dan (3) menemukan. Tujuan belajar selanjutnya dikembangkan
sebagai kombinasi dari ketiga jenis kategori perilaku belajar yang diharapkan
ini.
Kemampuan pemecahan masalah berarti
sangat memerlukan tingkat perilaku belajar mampu menggunakan (use) jenis materi prosedur untuk
menemukan (find) prinsip yang baru
untuk pemecahan masalah.
Reigeluth (1983:341) mempunyai pandangan
yang berbeda tentang hakekat kemampuan. Kemampuan yang menjadi kunci dalam
belajar dikenalnya dengan kemampuan elaborasi, yakni kemampuan menguraikan
sesuatu menjadi lebih terinci. Elaborasi merupakan proses penambahan
pengetahuan yang berhubungan pada informasi yang sedang dipelajari (Dahar,
1989:59). Kemampuan pemecahan masalah atau “problem
solving” merupakan tingkatan unjuk kerja pebelajar yang kriterianya dapat
diidentifikasi dari dua kemungkinan yakni (1) merupakan bagian dari skema, dan
yang (2) merupakan hasil pengembangan kriteria baru dari proses struktur
kognitif pebelajar.
Menurut Solso (2001:452) problem solving is “thinking that is directed toward the solving of a specific problem
that involves both the formation of responses and the selection among possible
responses.”
Shuell (1990:102) sebagaimana dikutip
oleh Poblete Sr. (199:23) menyatakan bahwa: ‘of the different metaphors that characterized teaching and learning, a
‘problem solving’ metaphor is most consistent with current conceptions of
meaningful learning.” Shuell (1990) mengkonsepsikan belajar dan mengajar
sebagai pemecahan masalah. Kelas adalah kelompok individu, yang masing-masing
berusaha untuk memecahkan masalah-masalah dasar seperti: (1) apa yang harus
saya kerjakan untuk memaksimalkan peluang saya mencapai tujuan?, (2) materi apa
yang harus disajikan pada hari ini?, (3) metode mengajar apa yang harus
digunakan untuk kelompok pebelajar ini?, (4) cara apa yang paling baik untuk
menangani kekacauan yang diakibatkan oleh pebelajar tersebut? Pemecahan masalah
akhirnya didefisinikan sebagai “a goal
directed activity that requires an active search for and generation of possible
alternative actions and decision-making as to which course of action top follow
next.” Hal ini melibatkan penilaian mental (berpikir kritis) dari berbagai
alternatif pemecahan masalah dan proses verifikasi pilihan alternatif untuk
dilihat seandainya hal itu dikerjakan.
Ross (1989:22) menunjukkan lima unsur
proses refleksi yang sejalan dengan konsep pemecahan masalah dari Shuell, 1990
(Poblete Sr.,1999:23), antara lain: (1) menyadari adanya dilema pendidikan (recognizing an educational dilemma
educational), (2) tanggap terhadap dilema pendidikan dengan menyadari
adanya kemiripan antara situasi dan kualiltas unik dari sebuah situasi yang
unik (responding to a dilemma by
recognizing both the similarities to the situations and the unique of the
particular situation), (3) susun dan menyusun kembali dilemma (framing and re-framing the dilemma),
(4) mencoba mengungkap konsekuensi dan implikasi dari berbagai pemecahan
masalah (experimenting with the dilemma
to discover the consequences and implications of various solutions), dan
(5) menguji konsekuensi dan implikasi yang tampak dan yang tak terduga dari
implementasi solusi dan evaluasi pemecahan dengan menentukan mana konsekuensi
yang diinginkan dengan yang tidak (examining
the intended and unintended consequences of an implemented solution and
evaluating the solution by determining whether the consequences are desirable
or not).
Ross,1999 (Poblete Sr.,1999:23)
menegaskan: apapun macam dilemanya, seorang pengajar akan menyadari cara-cara
menyusun dan menyusun kembali masalah, dan keputusan yang diperbuat sesuai
dengan pemecahan masalah; semua ini tergantung pada perkembangan sikap dan
kemampuan serta kemauan untuk bertanggungjawab atas keputusan yang diambil dan
tindakannya.
Terkait dengan hal itu Sternberg dan
Davidson,1992 (Pobleter Sr.,1999:24) menyatakan bahwa (1) karakter individu dan
situasi adalah salah satu yang menentukan kemampuan untuk pemecahan masalah,
(2) masuknya unsur-unsur kritis ke dalam memori dari masalah dan hubungan di
antara unsur-unsur ini adalah proses yang kritis dalam pemecahan masalah, (3)
pemecah masalah yang sudah ahli menggunakan waktu lebih banyak dalam
merencanakan tahapan dan sumber-sumber yang digunakan dalam pemecahan masalah,
terlalu banyak pertimbangan untuk memfasilitasi unjuk kerja dan melalui proses
pertimbangan yang mendalam untuk melakukannya, dan (4) memantau secara
terus-menerus, mengawasi apa yang telah dikerjakan, apa yang sedang dikerjakan,
dan apa yang akan dikerjakan, semua ini dibutuhkan untuk menentukan sasaran
pemecahan masalah yang diperoleh.
Henderson’s,1992(Poblete Sr.,1999:25) menunjukkan
berbagai teknik mengajar pemecahan masalah dari berbagai guru dan menyimpulkan
4(empat) langkah proses pemecahan masalah, yakni: (1) refleksi pada situasi
belajar untuk mengidentifikasi faktor-faktor terpenting untuk kasus-kasus
tertentu, (2) mengidentifikasi masalah, (3) mencoba satu atau lebih pemecahan
(solusi), dan (4) melibatkan dalam pencarian (inquiry) lebih jauh.
Henderson (1992:53-54) melakukan
modifikasi 4(empat) langkah pengajaran pemecahan masalah dari Donald Schon
(1988) yang terdiri dari (1) mengobservasi apa yang dikatakan dan dikerjakan
pebelajar, (2) memikirkan apa yang dikatakan dan dikerjakan pebelajar sebagai
teka-teki guru untuk dipecahkan, (3) menghimpun jembatan penghubung antara apa
yang dimengerti dan pokok bahasan, dan teka-teki dipecahkan ketika hubungan
dibuat antara pengetahuan yang belum pernah diketahui pebelajar (students’ naive knowledge) dan
pengetahuan sebelumnya tentang pokok bahasan. Dengan demikian pemecahan masalah
dalam pandangan refleksi pengajaran terdiri dari (1) observasi dan refleksi,
(2) identifikasi masalah berdasarkan observasi dan refleksi, (3) percobaan satu
atau lebih pemecahan masalah, dan (4) evaluasi dan inquiry lebih lanjut.
Ditilik dari proses struktur kognitif
pemecahan masalah adalah: (1) proses diferensiasi dan integrasi bentukan
skemata baru, dan (2) proses penciptaan pengetahuan dan integrasi pengembangan
skemata baru. Kedua proses ini situasinya tidak dikenal sebelumnya oleh
pebelajar, pemunculannya akibat hadirnya stimulus tertentu yang mengundang
untuk pemecahan masalah. Bila diklasifikasi dari jenis unjuk kerja, maka
pemecahan masalah merupakan jenis unjuk kerja urutan tindakan. Jenis unjuk
kerja pengenalan pola dan unjuk kerja urutan tindakan, keduanya merupakan hasil
belajar yang isinya bersifat prosedural. Kesimpulan ini sejalan dengan
pandangan Tennyson, 1989 (Mukhadis, 2003:20).
c.
Kompetensi Pemecahan Masalah Dalam Akuntansi
Terkait dengan keahlian Akuntansi Libby
& Luft (1993:433) menyarankan bahwa kemampuan bidang Akuntansi bergantung
pada 4(empat) faktor yaitu (1) kemampuan (ability),
(2) pengetahuan (knowledge), (3)
motivasi, dan (4) lingkungan (environtment
and motivation). Keahlian Akuntansi dapat ditingkatkan melalui model hubungan
empat faktor yang dapat diilustrasikan sebagaimana gambar berikut ini.
Diasumsikan bahwa motivasi dan lingkungan merupakan faktor yang konstan. Dari
model ini jelas kemampuan pemecahan masalah bidang Akuntansi dapat dikembangkan
tergantung pada sumbangan dari unsur-unsur pengalaman dan kreasi yang didukung
oleh kemampuan individu pebelajar.
Gambar 1
Hubungan Empat Faktor Kemampuan Dalam
Akuntansi
Adaptasi dari Robert Libby & Joan
Luft, 1993:433 (Salterio, 2005:1)
Unsur pertama, kemampuan individu
merupakan kapasitas tugas pendukung untuk melengkapi informasi, seperti koding
informasi (information encoding),
pemanggilan (retrieval) dan analisis.
Kedua,
pengetahuan yang dimiliki (knowledge –
information stored in memory) yakni informasi yang telah terekam dalam
memori yang dapat menunjukkan sejauh mana individu telah menguasai tugas
pekerjaan tertentu bidang Akuntansi (pengetahuan prosedural); fakta-fakta yang
dibutuhkan (pengetahuan deklaratif); dan bagaimana kegiatan yang sesuai dengan
tuntutan profesi bidang akunting (pengetahuan tacit).
Ketiga,
pertimbangan dari lingkungan Akuntansi dan gambaran tentang arahan dari yang
berwenang seperti program audit komputer, insentif keuangan, hubungan
akuntabilitas, dan proses review formal dan informal. Lingkungan memberi
peluang yang berbeda-beda untuk belajar;
lingkungan yang baik akan memberi lebih banyak bahan belajar, dan begitu
sebaliknya.
Keempat,
motivasi yang terkait erat dengan kemauan individu untuk memanfaatkan
potensinya. Model dari keempat unsur ini memang sederhana, tetapi saling
hubungan antar keempat unsur ini dapat menjadi kompleks.
Konstruktivisme memandang keberhasilan
memecahkan masalah sebagai indikasi penguasaan strategi kognitif, terdiri dari
pola dasar strategi yang telah dipelajari, dipengaruhi oleh kepercayaan, nilai
dan norma, motivasi, kemampuan dan keterampilan, serta intuisi dalam situasi
dan konteks tertentu.
Oleh karena itu keterampilan pemecahan
masalah menurut Preisseisen, 1985 (Paulina Panen, 1996:3-7) merupakan
keterampilan proses berpikir memecahkan masalah melalui pengumpulan fakta,
analisis informasi, menyusun alternatif pemecahan, dan memilih pemecahan
masalah yang paling efektif. Keterampilan ini adalah salah satu dari meta
kognitif (pemecahan masalah, pengambilan keputusan, berpikir kritis, dan
berpikir kreatif).
Isi bahan belajar Akuntansi banyak
didominasi oleh khasanah pengetahuan tentang pemecahan masalah. Masalah dan
pemecahan masalah merupakan obyek belajar yang harus dibelajarkan agar mampu
dikuasai oleh pebelajar tatkala menghadapi situasi baru yang memerlukan
pemecahan masalah. Kemampuan untuk memecahkan masalah, pada dasarnya, merupakan
tujuan utama proses pendidikan (Dahar, 1989:138). Kemampuan pemecahan masalah
bukan merupakan keterampilan yang generik. Kemampuan pemecahan masalah di
bidang Akuntansi tidak dapat dengan secara otomatis didapat dengan transfer
dari kemampuan pemecahan masalah dari bidang lain.
Belajar pemecahan masalah adalah belajar
tentang aturan-aturan tingkat tinggi. Pemecahan masalah dapat dilakukan jika
pebelajar telah menemukan aturan-aturan tingkat tinggi tersebut, dan aturan-aturan
tingkat tinggi memerlukan penggabungan konsep dan aturan-aturan yang sederhana
yang diperoleh pebelajar dalam fase belajar sebelumnya. Penguasaan
aturan-aturan memegang peranan penting dalam pemecahan masalah. Tidak mungkin
pebelajar untuk memperoleh semua aturan yang diperlukan bagi setiap situasi.
Konsep-konsep dan aturan-aturan harus disintesis menjadi bentuk-bentuk kompleks
yang baru agar pebelajar dapat menghadapi situasi-situasi masalah yang baru.
Dalam konteks ini apa sebenarnya masalah
itu? Rowe (2004:70) menyatakan definisi masalah sebagai berikut:...”complex problems generally involve a number
of unknown factors. Problem’s that on the surface appear simple may in reality
be very complex and have deeper underlying causes.” Lebih lanjut ia menyatakan,
bahwa “creative problem-solving is often
a matter of attitude, not the method or approach used.” (Rowe, 2004:73). “Problem-solving often involves reasoning
along with creativity and depends on how an individual perceives the
information that is available”
Lebih
khusus
Solving means to find or provide a
satisfactory answer or explanation for a problem. A solution to a problem, whether
in accounting or in any other discipline, involves more than just "getting
the answer." This is what most of us search for, but other preliminary
steps lead to the final solution. Before you can solve any problem, you need to
understand accounting fundamentals and strategies for solving problems.
Pemecahan
masalah adalah sarana untuk memberikan jawaban yang memuaskan atau menjelaskan
sebuah masalah. Pemecahan masalah dalam Akuntansi atau dalam disiplin yang
lain, termasuk lebih dari sekedar
mendapatkan jawaban. Apa yang sering dicari adalah langkah-langkah mendasar
yang mengarahkan ke pemecahan akhir. Sebelum dapat memecahkan beberapa masalah,
dibutuhkan pemahaman tentang dasar-dasar akuntansi dan strategi-strategi
pemecahan masalah. Misalnya konsep persamaan dasar akuntansi (fundamental
accounting equation), konsep harta (assets), utang (liabilities)
dan modal (Owner's equity), debit, kredit, sistem pencatatan berpasangan (double-entry
accounting) dan sebagainya.
Pada
galibnya, masalah akan muncul ketika situasi yang dihadapi seseorang berbeda
dengan yang diharapkan atau tak sesuai dengan tujuan. Pemecahan masalah
merupakan kegiatan memindahkan suatu kegiatan pada suatu situasi tertentu ke
dalam situasi yang lain untuk mencapai tujuan yang diharapkan (Bransford &
Stein, 1984:3). Klein (2002:354) mempertegas gambaran situasi orang yang
membutuhkan pemecahan masalah dengan pernyataan berikut:
A problem is a situation in which a
person is motivated to reach a goal, but some obstacle or obstacles blocks the
attainment of the goal. The person’s task is to find a solution to the problem;
that is, to discover a way to overcome the obstacles.
Pada dasarnya tiap individu memiliki perbedaan dalam
hal kemampuan, termasuk kemampuan pemecahan masalah (Bransford & Stein,
1984:2). Faktor utama yang membedakan adalah kreasi dari tiap-tiap individu.
Tiap individu memiliki efektivitas pemecahan masalah yang berbeda-beda. Faktor
kreasi dan kecakapan (smarter) mempengaruhi
hal itu.
Persoalan
dalam kemampuan pemecahan masalah yang terpenting bukanlah pada perbedaan
kemampuan dari tiap individu, melainkan pada bagaimana kemampuan pemecahan
masalah itu dipelajari. Meskipun Gagne (Dahar, 1989:138) menyatakan bahwa:
... kondisi yang
esensial yang membuat belajar aturan-aturan tingkat tinggi suatu kejadian
pemecahan masalah ialah, karena tidak adanya bimbingan belajar, apakah dalam
bentuk komunikasi verbal atau dalam bentuk lain. Bimbingan belajar diberikan
oleh si pemecah masalah itu sendiri, tidak oleh guru atau sumber eksternal yang
lain.
Oleh
karena itu tindakan memfasilitasi kejadian belajar pemecahan masalah merupakan
hal yang penting dan utama. Dalam praktik yang acapkali terjadi bukan tidak
pernah dipelajari, tetapi memang jarang dibelajarkan. Dalam kuliah yang sering
diajarkan tentang ‘berpikir apa’ (what to
think) bukan ‘berpikir bagaimana’ (how
to think). Akibatnya kemampuan pemecahan masalah hanya menjadi potensi yang
tersembunyi di kalangan pebelajar.
Sementara para dosen tidak menyadari betapa pentingnya proses dasar dari
kemampuan pemecahan masalah, bagi pebelajar maupun bagi dirinya. Hakikat
penguasaan kemampuan pemecahan masalah adalah untuk antisipasi tantangan hidup
pebelajar di hari depan.
Individu
yang menguasai dengan baik kemampuan pemecahan masalah dalam ranah tertentu,
tidak menjamin bahwa mereka akan baik dalam ranah yang lain. Hal ini karena
tiap pemecahan masalah dalam situasi dan kondisi tertentu memiliki prosedur
yang berbeda dan perlu belajar untuk itu. Ada kecenderungan, bahwa tiap
pebelajar akan menghindar dari masalah.
Tindakan menghindar dari pendekatan pemecahan masalah mengakibatkan
terbentuknya praduga dalam diri pebelajar menjadi merasa tidak ada kemampuan
untuk itu dalam dirinya
Berdasarkan beberapa kajian di atas,
maka yang dimaksud dengan kemampuan pemecahan masalah dalam Akuntansi adalah
kemampuan ketrampilan intelektual dalam bentuk kemampuan elaborasi pemecahan
masalah yang terdiri dari kemampuan menggunakan prosedur (use) dan kemampuan menemukan (find)
pemecahan masalah Akuntansi dengan jenis unjuk kerja berupa urutan tindakan
yang kriterianya dapat berbentuk bagian dari skema atau dapat dalam bentuk
pengembangan skema baru.
d. Kompetensi
Belajar Bidang Akuntansi
Kompetensi Akuntansi terdiri dari
kecakapan-kecakapan yang dibentuk melalui pengetahuan, ketrampilan dan
pembinaan sikap tentang Akuntansi. Akuntansi sendiri adalah seni catat-mencatat
transaksi keuangan yang bertujuan menyajikan informasi bagi pihak-pihak yang
berkepentingan sesuai dengan kapasitas tujuan penggunaannya. Hermanson, Edwards & Salmonson (1989:3)
mendefinisikan Akuntansi sebagai “... the
process of identifying, measuring,
and communicating economic information to permit informed judgments and
decisions by the users of the information.” Akuntansi adalah proses
pencatatan, pengklasifikasian, pengikhtisaran, pelaporan dan penginterpretasian
transaksi-transaksi yang terjadi dalam suatu perusahaan untuk memungkinkan
adanya asesmen dan keputusan yang jelas dan tegas bagi mereka yang menggunakan
informasi tersebut. (P2A, Depdikbud, 1989:15).
Menurut National Committee on Governmental Accounting, 1968 (Gandhi,
2002:86) Akuntansi adalah gabungan dari aktivitas analisis, pencatatan,
peringkasan dan penginterprestasian transaksi keuangan; bertujuan untuk menyediakan
informasi keuangan yang lengkap dan akurat dalam bentuk yang sesuai dan dalam
waktu yang tepat. Pentingnya peranan Akuntansi dipertegas oleh Accounting Education Change Commission
(AECC) (1992:249) bahwa “...the
importance of accounting as ‘an information development and communication
function that supports economic decision-making.’
Sejalan dengan pemikiran Ingram &
Baldwin (1996:iii); Huang, O’shaughnessy dan Wagner (2005:284) menegaskan juga,
bahwa “...accounting not as a set of
technical procedures to be memorized but as a way of understanding businesses
and a means for evaluating them.”
Dari beberapa definisi dan penegasan
tersebut dapat disimpulkan bahwa kompetensi Akuntansi mengandung penguasaan
kemampuan dan aktivitas yang berproses mengikuti prosedur tertentu dalam
tahapan-tahapan mulai dari mencatat, mengklasifikasi, mengikhtisarkan,
melaporkan dan menginterpretasikan transaksi yang terjadi dalam suatu
perusahaan dalam kurun waktu tertentu dengan tujuan menyediakan informasi
keuangan kepada pihak yang berkepentingan untuk tujuan pengambilan keputusan
dan sebagai sarana evaluasi kegiatan bisnis.
Pendidikan
dan pelatihan untuk membentuk kompetensi Akuntansi harus membekali pebelajar
sedemikian rupa melalui kurikulum dengan memperhatikan isi dan prosedur
penyajian. Tiap-tiap kecakapan tertentu mungkin diperlukan dasar dan prasyarat
kecakapan sebelumnya, begitu seterusnya hasil dari pembekalan kecakapan
tertentu akan menjadi dasar dan prasyarat kecakapan berikutnya, yang secara
bernjenjang dan prosedural akan membentuk kebulatan isi kecakapan dan
menjadikan orang yang belajar atau berlatih menjadi mahir untuk sekalian
kecakapan-kecakapan itu, dan inilah yang disebut kompetensi.
Kompetensi
Akuntansi bagi guru bidang studi ekonomi dapat dilatihkan dan dibekalkan
melalui proses dan prosedur seperti di atas. Tiap kecakapan memerlukan dasar
dan prasyarat pengetahuan, ketrampilan dan sikap dari kecakapan sebelumnya, dan
lebih lanjut kecakapan yang diperoleh menjadi dasar dan prasyarat dari
kecakapan yang akan dipelajari berikutnya. Guru Akuntansi yang baik
kompetensinya berarti guru yang menguasai secara tuntas sekalian
kecakapan-kecakapan Akuntansi. Penguasaan sekalian kecakapan Akuntansi yang
baik merupakan pendukung munculnya kualitas proses pembelajaran Akuntansi bagi
siswa-siswa di kelas. Oleh sebab itu kompetensi guru adalah mutlak diperlukan,
dan karena itu menjadi penting tentang bagaimana menyiapkan guru Akuntansi
dengan baik. Kurikulum LPTK untuk mayor
bidang studi Akuntansi merupakan salah satu muara untuk menciptakan guru
Akuntansi yang berkompetensi.
2.
Hakikat Belajar Pemecahan Masalah dalam Bidang Akuntansi
a. Definisi Belajar dan Bentuk Belajar.
Peristiwa belajar dapat didefinisikan
sebagai perubahan perilaku yang terjadi secara menetap pada diri seseorang
sehingga diperoleh suatu kompetensi atau kemampuan.
Bentuk-bentuk belajar menurut Gagne,
1984 (Dahar,1989:12) ada lima macam yakni (1) belajar responden, (2) belajar
kontiguitas, (3) belajar operant, (4) belajar observasional, dan (5) belajar
kognitif.
Bentuk belajar responden, ditandai oleh adanya respons yang
dikeluarkan oleh stimulus yang telah dikenal dan intinya bahwa perilaku berubah
karena hasil suatu pengalaman. Respons yang muncul tanpa stimulus terkondisi
bukan merupakan belajar, melainkan akibat instink.
Belajar kontiguitas ditandai oleh adanya
perubahan perilaku akibat asosiasi dekat (contigous)
sederhana antara suatu stimulus dan suatu respons. Belajar operant merupakan
bentuk belajar akibat adanya penguatan, yaitu suatu konsekuensi yang memperkuat
perilaku-perilaku.
Belajar observasional memperlihatkan,
bahwa belajar diperoleh dengan cara mengamati orang lain melakukan apa yang
akan dipelajari, oleh sebab itu perlu dihindari kesempatan atau peluang untuk
obyek pengamatan yang tidak baik.
Belajar kognitif merupakan bentuk
belajar yang menekankan pada proses-proses kognitif, antara lain berpikir (insight) dan penalaran (reasoning), dan penggunaan logika
deduktif dan induktif, meskipun para ahli mengakui memang ada konsepsi-konsepsi
tentang belajar yang diterapkan dalam hubungan stimulus – respons yang tak
logis, tetapi masih lebih banyak dibutuhkan penjelasan belajar dari
hubungan-hubungan yang logis dan rasional. Dewasa ini kecenderungan para ahli
lebih konsentrasi penelitian pada pengembangan bentuk belajar proses kognitif
daripada bentuk-bentuk belajar yang lain.
b. Teori Belajar dan Teori Pembelajaran
Pemahaman tentang sejarah teori belajar
merupakan hal penting untuk melihat konstelasi perkembangan teori belajar yang
sedang dan akan terjadi dalam dunia pendidikan dewasa ini maupun unsur-unsur
lain terkait seperti perkembangan masalah asesmen, penilaian, pengukuran dan
tes serta bentuk-bentuk praktik pembelajaran. Bruner,1964 (Degeng,1989:20)
mengemukakan bahwa teori pengajaran adalah preskriptif dan teori belajar adalah
deskriptif. Teori pembelajaran bersifat preskriptif yakni memberikan resep atau
petunjuk bagaimana cara melaksanakan pembelajaran. Teori belajar bersifat deskriptif
artinya mendeskripsikan bagaimana proses belajar berlangsung dalam diri
seseorang. Perbedaan teori belajar dan
teori pengajaran dari Bruner ini, dikembangkan lebih lanjut oleh Reigeluth
(1983), Gropper (1983), dan Landa (1983).
Hubungan antara teori belajar dengan teori pembelajaran dengan
demikian dapat dijelaskan bahwa jika teori belajar memerikan tentang bagaimana
proses belajar berlangsung pada diri pebelajar, maka teori pembelajaran
memberikan arah, petunjuk, pedoman bagaimana melaksanakan tahap-tahap
pembelajaran yang tepat sesuai dengan kaidah-kaidah yang dipakai oleh teori
belajar. Teori belajar merupakan landasan bagi pengembangan teori pembelajaran.
Perbedaan antara keduanya lebih jelas pada uraian berikut ini.
Sejalan dengan inti yang dikaji dalam
pengembangan ini maka sesi berikut dibahas teori belajar proses kognitif, teori
pembelajaran proses kognitif serta teori elaborasi.
(1) Teori Belajar Proses Kognitif.
Menurut Bruner (1966:47), belajar
terdiri dari tiga proses, yaitu perolehan,
mentransfer dan mengolah kembali. Bruner percaya bahwa dalam praktik pengajaran
tercakup tiga hal di dalamnya, yaitu berupa informasi tentang bagaimana
kreativitas pebelajar bisa tumbuh dengan baik, belajar membantu menyusun
pengetahuan, dan belajar membantu mengurutkan atau menyusun pengetahuan.
Dari paparan di atas
dapat disimpulkan bahwa belajar berdasar teori belajar proses kognitif
merupakan pertemuan antara faktor-faktor internal pebelajar dan faktor-faktor
eksternal pebelajar sehingga diperlukan cara dalam memadukan kedua faktor
tersebut. Teori ini menekankan pada pemrosesan informasi kognitif yaitu
bagaimana seseorang menerima, menyimpan dan mengingat kembali informasi dari
perbendaharaan ingatannya.
(2)
Teori Pembelajaran Proses Kognitif
Teori pembelajaran ini berkembang
digagas oleh Bruner dan Gagne. Anggapannya bahwa belajar adalah proses
perubahan dalam diri seseorang yang tidak dapat diamati secara langsung seperti
pengalaman, niat, pikiran, perasaan, pengetahuan dan harapan. Belajar adalah
bertemunya faktor internal dengan faktor eksternal diri pebelajar. Pembelajaran
karena itu adalah upaya mengoptimalkan potensi internal dan eksternal
pebelajar. Cara-cara pengoptimalan potensi internal dan eksternal pebelajar
dapat ditempuh dengan jalan: mengaktifkan motivasi, memberitahu tujuan-tujuan
belajar, mengarahkan perhatian, merangsang ingatan, menyediakan bimbingan,
melancarkan retensi, melancarkan transfer belajar dan memperlihatkan penampilan
pemberian umpan balik.
Penerapan teori pembelajaran kognitif
dilakukan dengan langkah-langkah: memulai dari sederhana ke yang kompleks, dari
yang konkrit ke yang abstrak, dari umum ke khusus, dari yang sudah diketahui
kepada yang belum diketahui, menggunakan prinsip induksi ke deduksi dan
ditopang oleh penguatan (reinforcement).
Salah satu teori pembelajaran proses
kognitif adalah teori elaborasi. Teori
elaborasi dikembangkan oleh Reigeluth dan Stein (1983:364-370) dan diteruskan
lagi oleh Reigeluth dan Merrill (1994:245) yang merupakan perluasan teori
komponen penyajian (component display
theory) dari Merrill (1978) pada tingkat makro meliputi pemilihan
penyajian, urutan, sintesis dan rangkuman isi pengajaran. Elaborasi dimaknai
memberikan kejelasan preskripsi komponen pembelajaran.
Strategi pengajaran tingkat makro
mempreskrikpsikan cara-cara penanganan 4(empat) bidang masalah, yang oleh
Reigeluth,1983 (Degeng, 1989:111) disebut sebagai 4S: selection, sequencing, synthesizing, dan summary.
Salah satu pemikiran
pengorganisasian isi bidang studi ke arah strategi makro adalah teori
Elaborasi, yang digagas oleh Reigeluth dan Stein (1983). Teori elaborasi
mempreskripsikan cara pengorganisasian isi pengajaran dengan mengikuti urutan
dari umum ke rinci dengan menampilkan epitome (struktur isi bidang studi yang
dipelajari), kemudian mengelaborasi bagian-bagian yang ada dalam epitome secara
lebih rinci. Konteks selalu ditunjukkan dengan menampilkan sintesis secara
bertahap.
Dalam penelitian ini
teori elaborasi dipilih sebagai landasan untuk mengembangkan preskripsi
pengorganisasian isi pembelajaran Akuntansi Perusahaan Jasa. Pertimbangannya
karena teori elaborasi sesuai dengan karakteristiknya telah menampung esensi
dari teori-teori yang lain, sehingga untuk landasan mengembangkan preskripsi
sampel bahan pembelajaran Akuntansi Perusahaan Jasa yang isinya bersifat
prosedural secara makro lebih tepat. Berikut ini dibahas karakteristik teori
elaborasi.
(a) Pengertian Elaborasi
Menurut Wilis (1988:73), elaborasi
adalah proses penambahan pengetahuan yang berhubungan pada informasi yang
sedang dipelajari. Reigeluth & Stein (1983:338) memberikan penjelasan:
“The Elaboration Theorly of instruction
prescribes that the instruction start with a special kind of overview that
teaches a few general, simple, and fundamental (but not abstract) ideas. The
remainder of the instruction presents progressively more detailed ideas, which
elaborate on earlier ones”.
Dari penjelasan ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa teori elaborasi mempreskripsikan cara pengorganisasian isi
pengajaran dengan mengikuti urutan dari umum ke rinci. Urutan umum ke rinci
dimulai dengan menampilkan selayang
pandang (overview) ide yang umum,
sederhana dan mendasar. Kemudian pengajaran maju setapak demi setapak
dielaborasi satu persatu.
(b) Komponen Strategi Elaborasi
Ada 7(tujuh) komponen
yang diintegrasikan dalam teori elaborasi (Reigeluth & Stein, 1983:342)
yakni (1) urutan elaborasi dari sederhana - ke kompleks (untuk struktur utama
materi pelajaran), (2) urutan prasyarat belajar, (3) rangkuman, (4) sintesis,
(5) analogi, (6) pengaktif strategi kognitif, dan (7) kontrol belajar.
(c) Prinsip-prinsip Elaborasi
Prinsip-prinsip yang
menjadi landasan teknik elaborasi adalah :
1) Kerangka isi yang menunjukkan bagian-bagian utama bidang studi
dan hubungan-hubungan di antara bagian-bagian itu, hendaknya disajikan pada
fase pertama pengajaran.
2) Elaborasi secara bertahap, bagian-bagian yang tercakup dalam
kerangka isi hendaknya dielaborasi secara bertahap.
3) Bagian terpenting disajikan pertama kali, pada suatu tahap
elaborasi apa pun pertimbangan yang dipakai, bagian yang terpenting hendaknya
dielaborasi pertama kali.
4) Cakupan optimal elaborasi, kedalaman dan keluasan tiap-tiap elaborasi
hendaknya dilakukan secara optimal.
5) Penyajian pensintesis secara bertahap, pensintesis hendaknya
diberikan setelah setiap kali melakukan elaborasi.
6) Penyajian jenis pensintesis, jenis pensintesis hendaknya
disesuaikan dengan tipe isi bidang studi.
7) Tahapan pemberian rangkuman, rangkuman hendaknya diberikan
sebelum setiap kali menyajikan pensintesis.
(d) Tahap-tahap Pengajaran Menurut Strategi
Elaborasi
Mengikuti alur pikir dan
prinsip-prinsip elaborasi maka langkah-langkah penyajian pengajaran meliputi
tahapan:
1)
Pengajaran dimulai
dengan menyajikan kerangka isi struktur yang memuat bagian-bagian yang paling
penting dari bidang studi.
2)
Elaborasi tahap
pertama, yaitu mengelaborasi tiap-tiap bagian yang ada dalam kerangka isi,
mulai dari bagian yang terpenting. Elaborasi tiap-tiap bagian diakhiri dengan
rangkuman dan pensintesis yang hanya mencakup konstruk-konstruk yang baru saja
diajarkan (pensintesis internal).
3)
Pada akhir elaborasi
tahap pertama, diberikan rangkuman dan diikuti dengan pensintesis eksternal.
Rangkuman berisi pengertian-pengertian singkat mengenai konstruk-kontruk yang
diajarkan dalam elaborasi.
4)
Elaborasi tahap kedua.
Setelah elaborasi tahap pertama berakhir dan diintegrasikan dengan kerangka
isi, pengajaran diteruskan ke elaborasi tahap kedua, yang mengelaborasi bagian
pada elaborasi tahap pertama dengan maksud membawa pebelajar pada tingkat
kedalaman sebagaimana ditetapkan dalam tujuan pengajaran. Pada elaborasi tahap
kedua ini juga disertai rangkuman dan pensintesis internal.
5)
Pemberian rangkuman.
Pada akhir elaborasi tahap kedua, diberikan rangkuman dan sintesis eksternal,
seperti pada elaborasi tahap pertama.
6)
Setelah semua elaborasi
tahap kedua disajikan, disintesiskan, dan diintegrasikan ke dalam kerangka isi,
pola seperti ini akan berulang kembali untuk elaborasi tahap ketiga, dan
seterusnya sesuai dengan kedalaman yang ditetapkan oleh tujuan pengajaran.
7)
Pada tahap akhir
pengajaran, disajikan kembali kerangka isi untuk mensintesiskan keseluruhan isi
bidang studi yang telah diajarkan.
Pengajaran
dengan teknik elaborasi dapat dilihat pada gambar 2 di halaman berikut ini.
Penyajian
epitome isi prosedural dalam pengembangan ini merupakan pensintesis dari
prosedur alternatif yang paling sederhana dari keseluruhan isi akuntansi keuangan
yang dibelajarkan. Hubungan di antara pensintesis prosedur alternatif ini lebih
tampak bersifat herarkhi. Sebagai contoh epitome dari pokok bahasan prosedur
dalam siklus Akuntansi untuk perusahaan jasa adalah persamaan dasar akuntansi,
rekening buku besar, pencatatan transaksi dalam jurnal dan posting buku besar,
jurnal umum, buku besar dan neraca saldo, proses penyusunan laporan keuangan,
penyajian laporan keuangan, dan penutupan dan pembukaan buku besar.
Epitome
tentang persamaan dasar akuntansi dapat dielaborasi dengan mengidentifikasi
tahapan prosedur yang harus dilakukan sebelum melakukan perubahan komposisi
persamaan dasar akuntansi. Demikian juga seterusnya untuk elaborasi kegiatan
pencatatan transaksi ke dalam jurnal, posting buku besar, neraca saldo,
penyusunan laporan keuangan
dan lainnya.
Epitome (Kerangka Isi) Elaborasi Tahap Pertama |
(2) Menyajikan elaborasi
bagian yang lain dalam epitome (3) Menyajikan rangkuman
dan sintesis (2) Menyajikan Elaborasi salah
satu bagian dalam epitome (1) Menyajikan Epitome -
Strategi
motivasional -
Analogi -
Prasyarat
belajar -
Struktur isi -
Struktur
pendukung |
||||||||||
Elaborasi Tahap Kedua |
atau
(4) Menyajikan elaborasi
bagian yang lain yang ada dalam elaborasi tahap pertama
|
||||||||||
|
Dst. atau
|
||||||||||
|
|
Gambar 2
Model Elaborasi ( adaptasi dari
Reigeluth & Stein, 1983:367)
Elaborasi
tahap pertama untuk persamaan dasar akuntansi (H=U+M) ini dimulai dari identifikasi
jenis transaksi keuangan, bukti transaksi yang harus digunakan sebagai dasar
pencatatan, analisis pengaruh jenis transaksi terhadap komposisi dan persamaan
dasar akuntansi, pengenalan klasifikasi dan kode rekening sebagai referensi
jurnal. Sub-sub prosedur ini dielaborasi berdasarkan proses penyelesaian
transaksi untuk menghasilkan informasi akuntansi pada siklus akuntansi
keuangan. Tahapan ini diakhiri dengan pembuatan rangkuman dan sintesis berupa
hasil analisis transaksi dan perubahan komposisi persamaan dasar akuntansi.
Tahap-tahap elaborasi selanjutnya dilakukan terhadap sub-sub prosedur yang
bersesuaian dan berurutan prosesnya, sehingga dapat mendukung pemahaman dan
penguasaan yang saling kait mengkait membentuk rangkuman dan sintesis dari
pengetahuan prosedural tentang persamaan dasar akuntansi. Gambaran konkrit
tentang hal ini dapat diamati pada gambar 3 berikut ini.
(e) Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran Elaborasi
Keunggulan pembelajaran
elaborasi antara lain: (1) penyajian materi lebih sistematis; (2) pebelajar
lebih mudah mengingat informasi baru yang disampaikan pengajar; (3) Pebelajar
lebih mudah mengingat konsep, karena dalam penyampainnya diberikan analogi
sehingga lebih konkrit; (4) pemahaman suatu konsep menjadi lebih dalam, karena
semua konsep dipelajari dalam konteksnya dengan konsep lain yang terkait; (5)
pebelajar lebih mudah membuat klasifikasi materi yang disampaikan.
Kelemahan dari
pembelajaran elaborasi adalah (1) membutuhkan waktu yang cukup lama, karena
pada setiap selesai penyajian satu materi penting diberikan analogi, sintesis
dan rangkuman; (2) kurang memberikan keuntungan bagi pengajar yang lebih
menekankan pada pencapaian target materi; (3) pengajar lebih membutuhkan waktu
lama untuk mencari analogi yang cocok bagi setiap materi yang bersifat abstrak.
Elaborasi tahap I |
|
|
|
Identifikasi bukti transaksi yang harus digunakan
sebagai dasar pencatatan |
|
Analisis pengaruh transaksi terhadap komposisi
H=U+M |
|
Pengenalan kode rekening sebagai referensi posting
jurnal |
|
Elaborasi
Tahap II
dst. |
|
Status transaksi |
|
Bukti kas/bank |
|
Transaksi berpengaruh pada komponen H; U; dan M
saja |
|
Kode rekening Aktiva dan Passiva |
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||
|
Sumber transaksi |
|
Bukti Pembelian/ Penjualan |
|
Transaksi berpengaruh pada komponen H=U |
|
Prinsip Likuiditas dalam Neraca |
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||
|
|
|
Memorial |
|
Transaksi berpengaruh pada komponen H=M |
|
|
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||
|
|
|
Retur dan lain-lain |
|
Transaksi berpengaruh pada komponen U+M |
|
|
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
||||
|
|
|
|
|
Transaksi berpengaruh pada komponen H=U+M |
|
|
|
Gambar: 3
Epitome struktur orientasi
prosedural Persamaan Dasar Akuntansi
Epitome-epitome yang lain
akan disajikan secara berurutan sesuai prosedur yang mengikuti siklus akuntansi
untuk penyelesaian transaksi pada perusahaan jasa. Paling tidak ada tujuh
epitome yang dapat dibuat rangkuman dan sintesisnya, dan jika digabungkan
semuanya akan menjadi penyajian yang integral dan holistik untuk penguasaan
kompetensi akuntansi perusahaan jasa.
3. Karakteristik
Pembelajaran Konvensional Pengajaran Akuntansi.
Disebut pembelajaran konvensional dalam
konteks ini adalah pembelajaran yang berpusat pada dosen. Bermula dosen
menyajikan uraian dengan ceramah diikuti sajian contoh-contoh parsial dari
prosedur kasus tertentu. Dalam kegiatan itu pebelajar mendengar, menyimak dan
mencatat, atau bertanya jika kurang atau belum memahami obyek yang dibahas.
Dosen menjawab pertanyaan dan kemudian diikuti dengan latihan kerja mandiri
sebagai umpan balik. Pada tahap satu satuan unit pembelajaran tertentu purna,
dosen memberikan tugas resitasi individual dan hasilnya dilaporkan sebagai
bagian kegiatan kuliah terstruktur. Dosen akan memberikan gradasi nilai untuk
komponen tugas sebagai bagian dari penilaian akhir matakuliah. Strategi
pembelajaran konvensional berpusat pada dosen, sehingga materi pengajaran
disampaikan langsung oleh dosen (direct
instruction).
Mursell (1954:23) menguraikan bentuk
penyajian pengajaran konvensional yang terdiri dari (1) semua bahan yang
dipelajari dibagi-bagi dalam kelompok kecil yang disebut unit; (2) sebelum
suatu pelajaran diuraikan lebih lanjut, diberikan secara garis besar
kepada pebelajar; (3) pengajar
memberi tugas kepada pebelajar; (4) tugas utama pengajar dalam kelas
adalah meneliti apakah tugas-tugas itu dikerjakan oleh pebelajar; (5) teknik
yang digunakan kebanyakan hafalan.
Dalam pembelajaran Akuntansi, bentuk
penyajian materi yang menggunakan strategi konvensional dimulai dari
penyampaian tujuan pembelajaran, menguraikan materi, menyajikan contoh beserta
penyelesaiannya, memberi kesempatan kepada pebelajar untuk bertanya, memberikan
penjelasan terhadap pertanyaan pebelajar, memberikan latihan soal, penyelesaian
soal bersama-sama dosen dan pebelajar, dan kemudian diakhiri dengan pemberian
tugas atau resitasi individual untuk dikerjakan di rumah. Secara garis besar
urutan kegiatan pembelajaran konvensional tampak sebagaimana pada gambar
diagram berikut.
Merumuskan Tujuan Pembelajaran Melakukan Tanya Jawab
Menginformasikan Tujuan Pembelajaran Memberikan Soal Latihan
Menjawab Soal Latihan Bersama-sama Pebelajar Menyampaikan Materi Pembelajaran
Gambar 4
Diagram Sintak Pembelajaran Konvensional
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan pembelajaran
konvensional adalah pembelajaran yang tahap-tahap dalam penyajian materi
sebagian besar alokasi waktu digunakan oleh dosen dalam mengajar. Materi kuliah
disampaikan secara konvensional dengan aktivitas mengajar berpusat pada
pengajar dengan mengutamakan kegiatan ceramah dan tanya jawab kepada
masing-masing individu tidak dalam kegiatan kelompok. Sebaliknya kegiatan
pebelajar pada umumnya menggunakan waktu untuk mendengarkan ceramah tentang
uraian materi dari pengajar. Pebelajar
belajar dan bekerja secara individu.
4. Keunggulan dan Kelemahan
Pembelajaran Konvensional
Strategi
pembelajaran konvensional selain memiliki keunggulan juga memiliki kelemahan.
Keunggulannya adalah: (1) memberikan keuntungan bagi dosen atau program
pembelajaran yang lebih menekankan pada pencapaian target materi, karena materi
cepat tersampaikan kepada pebelajar; (2) dapat digunakan pada pembelajaran yang
diikuti oleh pebelajar dalam jumlah besar; (3) mudah dilaksanakan, karena tanpa
panduan yang harus dipersiapkan secara khusus; (4) dapat diterapkan pada materi
yang lebih banyak fakta dan konsep hafalan.
Kelemahannya adalah:
(1) kurang memberikan kesempatan bagi berkembangnya kreativitas pebelajar; (2)
kurang mendorong sikap kemandirian pebelajar; (3) cenderung menumbuhkan sikap
pasif pada diri pebelajar; (4) kurang menumbuhkan sikap solidaritas antar pebelajar.
B. Strategi Belajar
Pemecahan Masalah
Sampai dengan tahun 1960-1970 para peneliti telah
mengembangkan model umum pemecahan masalah untuk menjelaskan proses pemecahan
masalah seperti yang dilakukan Newell & Simon, 1972; Polya, 1957; Bransford
& Stein, 1984 (Foshay & Kirkley, 2003:3). Asumsi yang mereka pakai
bahwa dengan belajar sesuatu yang abstrak (decontextualized)
kecakapan pemecahan masalah merupakan satu-satunya kecakapan yang dapat
ditransfer untuk berbagai situasi lain (context).
Satu contoh model tersebut dikembangkan oleh
Bransford & Stein (1984:11) menunjukkan model pendekatan IDEAL. IDEAL
adalah akronim dari komponen-komponen model: (1) Identifying problems, (2) Define
and represent the problem, (3) Explore
possible strategies, (4) Act on the
strategies, dan (5) Look back and
evaluate the effects of your activities. IDEAL dapat digunakan untuk
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan pengambilan keputusan.
Dalam terapannya kelima komponen dari kerangka kerja IDEAL ini akan selalu
dilibatkan dalam siklus kegiatan pemecahan masalah.
Di lain pihak Polya mengembangkan prosedur
pemecahan masalah atas dasar hakekat kemampuan memecahkan masalah sebagai suatu
proses. Menurut Polya (1957) ada empat tahapan yang harus dilakukan pebelajar
agar kemampuan memecahkan masalah dalam dirinya dapat dibentuk dan
dikembangkan. Pertama,
pemahaman (understanding the problem) pada masalah. Kedua, pembuatan rencana (devising a plan); Ketiga, pelaksanaan rencana (carrying
out the plan); Keempat, penilaian
kembali (looking back).
Sebuah pendekatan eklektik yang pernah
diadopsi oleh Belle Wallace dan Harvey B. Adams,1993 (Wallace & Bentley,
2002:7) setelah melakukan survai tentang kriteria unsur-unsur sukses tentang
kecakapan berpikir (thinking skills)
selama sepuluh tahun secara intensif terhadap kelompok pebelajar yang kurang
beruntung bersama guru-guru mereka; didapatkan hasil refleksi, kaji ulang, dan
percobaan serta penggunaan strategi pemecahan masalah yang dipublikasikan
dengan akronim TASC (Thinking Actively in
a Social Context). TASC menunjukkan kerangka kerja pengembangan berpikir (thinking) dan kurikulum pemecahan
masalah (problem-solving curriculum).
Komponen-komponen utama dari ajaran TASC adalah: (1) Berpikir (Thinking), (2) Aktif (Actively), (3) Sosial (Social), dan (4) Latar (Context). Pebelajar belajar dengan baik
ketika mereka dapat mengidentifikasikan diri dengan permasalahan-permasalahan
kehidupannya sendiri sehingga memiliki makna bagi kehidupannya.
Foshay & Kirkley (2003:4) melaporkan
bahwa setelah penelitian dibidang
kognitif dilakukan disimpulkan model pemecahan masalah kini menjadi begitu
komplek melibatkan aspek kognitif, tingkahlaku, dan komponen-komponen sikap.
Mayer (Foshay & Kirkley, 2003:4)
mendefinisikan pemecahan masalah sebagai proses yang terdiri dari banyak
tahapan di mana pemecah masalah harus menemukan keterkaitan antara pengetahuan
yang telah dimiliki (skemata) dan masalah yang dihadapi dan kemudian baru dapat
mengambil tindakan sebagai suatu penyelesaian. Menurut Mayer, 1983 (Foshay
& Kirkley, 2003:4) karakteristik pemecahan masalah terdiri dari: (1)
pemecahan masalah adalah pengetahuan yang diinferensikan dari tingkahlaku; (2)
hasil pemecahan masalah berupa tindakan yang mengarah ke pemecahan masalah; (3)
pemecahan masalah adalah proses yang melibatkan manipulasi atau operasi pada
pengetahuan yang didapat sebelumnya.
Model Gick,1986 (Foshay & Kirkley,
2003:4) berikut ini merupakan model
terkini yang sering digunakan untuk pemecahan masalah.
Recall
solution
Succeed
Stop
Fail
Gambar 5
Model Proses Pemecahan Masalah
Menurut Gick, 1986 diadaptasi dari
Foshay & Kirkley (2003:4)
Dalam model Gick (1986) terdapat tiga
urutan dasar kegiatan proses kognitif dalam pemecahan masalah: (1) menunjukkan
masalah (represent problem), yakni
mengingat kembali konteks pengetahuan yang sesuai, mengidentifikasi tujuan dan
memulai kondisi yang cocok dengan masalah; kemudian (2) mencari solusi (solution search), yakni memperjelas
tujuan dan mengembangkan rencana tindakan untuk mencapai tujuan; dan (3)
implementasi solusi (implement solution),
yakni melaksanakan tindakan yang telah direncanakan dan mengevaluasi hasilnya.
Bagi pebelajar yang sadar bahwa masalah yang sedang dihadapi adalah masalah
yang mirip dengan masalah yang sudah pernah dipecahkan, prosedur dapat
dilakukan pintas dari langkah pertama menuju langkah ketiga yang disebut dengan
mengingat kembali solusi yang lalu dan melakukan ulang tindakan solusi yang
sama (recall solution).
Tetapi kenyataan banyak masalah yang
harus dipecahkan adalah kompleks dan sudah tentu mengikuti siklus dalam gambar.
Dalam kasus ini pebelajar akan mengurai masalah menjadi tujuan-tujuan antara
dan satu-persatu dari tujuan antara dipecahkan mengikuti siklus dari proses
tersebut. Proses perubahan dari pemecahan masalah yang terkecil, ke tujuan
menengah, dan besar; akhirnya diperoleh pemecahan akhir merupakan contoh dari
urutan berpikir tingkat tinggi atau dikenal dengan strategi kognitif. Inilah
yang oleh Gagne,1985 (Foshay & Kirkley 2003:5) definisi pemecahan masalah
dikatakan sebagai refleksi dari prinsip-prinsip tersebut dan karenanya
kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu dari kecakapan berpikir
tingkat tinggi. Pemecahan masalah didefinisikan sebagai : “... the synthesis of other rules and concepts into higher order rules
which can be applied to a constrained situation”.
Menurut Jonassen dan Tessmer, 1996
(Foshay & Kirkley, 2003:5) pemecahan masalah juga melibatkan
komponen-komponen sikap. Untuk memecahkan suatu masalah pebelajar harus ada
keinginan untuk bekerja, dan ada keyakinan untuk itu. Motivasi dan aspek-aspek
sikap seperti usaha, keyakinan, kecemasan, kegigihan dan pengetahuan tentang
diri kesemuanya menentukan bagi proses pemecahan masalah. Namun demikian hasil-hasil penelitian yang
menggunakan model pemecahan masalah di tahun 1960-1970 bahkan yang mengikuti
model Gick (1986) sekali pun menunjukkan bahwa pengajaran yang menggunakan
pendekatan langsung dengan pemecahan masalah realitanya tidak meningkatkan
performasi kemampuan pemecahan masalah pebelajar. Penelitian DeBono, 1983;
Beyer, 1984 sebagaimana dilaporkan Foshay & Kirkley (2003:5) telah mencoba
menguji bahwa untuk mengajarkan sesuatu yang abstrak, pendekatan pemecahan
masalah secara umum ternyata tidak efektif. Pengajaran dengan pendekatan
pemecahan masalah tidak memberi efek yang berbeda penguasaan kemampuan
pemecahan masalah diantara pemecah masalah yang bagus dan yang tidak
bagus. Kemudian para peneliti
berkesimpulan bahwa pengetahuan tentang konteks masalah merupakan sesuatu yang
kritis dalam kemampuan pemecahan masalah.
Oleh karenanya Palumbo, 1990 berpendapat
bahwa dewasa ini kemampuan pemecahan masalah dipandang sebagai sesuatu yang
situasional dan tergantung pada batas-batas menurut konteksnya yang prosesnya
tergantung pada kedalaman dari struktur pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki
seseorang (Foshay & Kirkley, 2003:5).
Esensi pengajaran pemecahan masalah yang autentik bila diajarkan pada
situasi yang nyata. Pebelajar akan belajar memecahkan masalah, dan hanya akan
dapat menggunakan kemampuan ini pada situasi yang lain yang mirip jika ia sudah
pernah berhasil melakukan tindakan itu dengan strateginya, meskipun konteksnya
sudah berbeda; selain itu ia akan berhasil jika ada dukungan serta memiliki
struktur berpikir yang tepat.
Hayes (Solso, 2004:455) menyarankan
bentuk-bentuk stereotip urutan tindakan kognitif untuk pemecahan masalah
terdiri dari (1) identifying the problem,
(2) representation of the problem, (3) planning the solution, (4) execute the
plan, (5) evaluate the plan; dan (6) evaluate the solution.
Suharsono (1991) telah mencoba mengintrodusir
pengembangan pola pembelajaran pemecahan masalah untuk bidang Akuntansi dengan
model “pola struktur kegiatan
belajar-mengajar melalui preskripsi ditambah balikan dosen secara lisan”.
Pola dasar yang digunakan sebagai landasan pengembangan terdiri dari 7(tujuh)
komponen yakni : (1)
orientasi, (2)tujuan pembelajaran, (3) penyajian informasi, (4) asimilasi
prosedur, (5) latihan, (6) balikan, dan (7) pretes dan postes. Cara kerja model yang dikembangkan Suharsono tersebut
menggunakan sampel bahan belajar pemecahan masalah yang sifatnya tidak
integratif dalam pembentukan kebulatan kompetensi. Bahan-bahan belajar tersebut
dipilih secara preskriptif menurut kepentingan pengguna (dosen dan pebelajar)
untuk kadar pemecahan masalah yang dianggap bermasalah, bukan dipilih menurut
preskripsi untuk mengembangkan dan mencapai satu kebulatan kompetensi menurut
ragam standart unjuk kerja salah satu keahlian dan ketrampilan dalam bidang
Akuntansi.
Yang digunakan untuk bahan kajian adalah
sebanyak 10(sepuluh) sampel materi pemecahan masalah berupa sampel program
pembelajaran masalah yang berkaitan dengan (1) bidang pembelian, (2) penjualan,
(3) beaya perlengkapan, (4) hutang dan beaya pajak, (5) gaji dan beaya umum,
(6) iklan dan promosi, (7) penyusutan aktiva, (8) penyusutan tagihan dagang,
(9) beaya bunga, dan (10) penghasilan bunga. Selain itu sistem evaluasi yang
digunakan sebatas evaluasi yang hanya untuk memenuhi fungsi validasi dari
rancangan model (pretest-postest), bukan untuk mengembangkan sistem asesmen
yang terkait dengan model yang dikembangkan.
Dalam kaitannya dengan hasil belajar
pengetahuan prosedural, maka perlu dielaborasi terhadap tuntutan perlunya
mendeteksi proses tahap-demi-tahap kemampuan penggunaan pola/struktur dan
penemuan pemecahan masalah dari yang sederhana hingga mencapai satu kebulatan
kemampuan atau kompetensi yang tuntas. Selain itu perlu dikaji adanya sebuah
sistem asesmen yang memungkinkan untuk mendukung substansi model yang dikembangkan
menurut pertimbangan pengelolaan pembelajaran, pengembangan dan penyajian isi
bahan belajar dan tujuan pembelajaran yang dapat berfungsi untuk evaluasi
formatif bagi perbaikan proses belajar pebelajar.
Perlu disimak juga gagasan
Charles, Lester dan O’Daffer (1994:7-9) dari hasil studinya mengidentifikasi
7(tujuh) macam keterampilan berpikir (thinking
skills) yang secara khusus dianggap penting dalam pengembangan kemampuan
individu pebelajar dalam pemecahan masalah, yakni (1) understand/formulate the question in a problem, (2) understand the
conditions and variables in the problem, (3) select or find the data needed to
solve the problem, (4) formulate subproblems and select appropriate solution
strategies to pursue, (5)correctly implement the solution strategy or
strategies and solve subproblems, (6) give an answer in terms of the data in
the problem, dan (7) evaluate the reasonableness of the answer.
Pola prosedur pemecahan masalah yang
lain di antaranya diajukan oleh Klein (2002:355-360) dengan tahapan (1) defining
the problem, (2) a strategy for solving problem, (3) execution of the strategy,
(4) the problem solved. Dalam tahap pendefinisian masalah ada dua hal pokok
yang harus dilakukan, yakni identifikasi kebutuhan untuk operasi atau tindakan pemecahan
masalah dan mengenali pembatas atau kendala yang terjadi jika tindakan
pemecahan masalah dilakukan. Atas dasar ini maka masalah ada yang mudah didefinisikan (well-defined) dan ada yang samar atau kabur (ill-defined). Masalah yang well-defined
jika prosedur pemecahan dari mulai hingga akhir mencapai tujuan sudah jelas
dapat diidentifikasi, sementara yang belum jelas disebut dengan masalah yang ill-defined.
Mengubah masalah ill-defined menjadi well-defined perlu melakukan elaborasi menjadi
sub-sub masalah yang dapat ditangani (Simon, 1973), dan membuat kategori
tingkatan kerumitan dari sub-sub masalah tersebut menjadi pernyataan sub-sub
masalah yang well-defined (Wessels,
1982).
Dalam strategi pemecahan masalah ada
dua pendekatan yakni ‘an algorithm’
dan ‘a heuristic is a best guess or rule
of thumb solution’. Algorithma adalah aturan-aturan yang tepat digunakan
untuk memecahkan masalah yang spesifik; sedangkan strategi heuristik merupakan
semacam dugaan yang terbaik atau potong
kompas (cognitive shortcuts to problem)
sehingga dilihat dari ketepatannya masih mengandung resiko kegagalan, demikian klasifikasi oleh Amos Kahneman &
Daniel Tversky (Klein, 2002:359). Dalam hal ini ada dua cara bisa dilakukan
yakni melacak balik cabang masalah (working-bacward
heuristic) dan means-end analysis
(pendekatan heuristik yang sistematis, memecah masalah menjadi sub-sub masalah
kemudian tiap sub-masalah dipecahkan), inilah strategi yang dikenalkan Medin
& Ross, 1997 (Klein, 2002:359).
Selain kedua macam pendekatan
heuristik tersebut, ada dikenal strategi lain yakni strategi representatif (representativeness strategy) dan
strategi yang tersedia (availability
strategy). Strategi yang representatif termasuk pendekatan heuristik tetapi
yang mengandalkan pendapat (judgment)
hanya pada masalah yang karakteristiknya sudah jelas. Pendekatan ini seringkali
diterapkan tetapi untuk kasus masalah yang pemecahannya tidak masuk di akal,
sebagaimana dilaporkan oleh Kahneman & Tversky, 1972, 1973 (Klein,
2002:359). Strategi yang tersedia akan dipilih untuk diterapkan jika informasi
masalahnya bisa dibaca dan dapat dipikirkan (Levi & Pryor, 1987; Klein,
2002:360).
Langkah berikutnya adalah pelaksanaan
strategi pemecahan masalah (execution of
the strategy). Langkah terakhir
adalah menentukan alternatif pemecahan yang akurat (the problem solved). Seringkali sulit untuk mengetahui apakah
alternatif pemecahan yang akurat benar adanya dapat memecahkan masalah, untuk
itu perlu dilakukan koreksi ulang melihat pada tahapan-tahapan sebelumnya. Ada
dua alasan pentingnya melakukan koreksi ulang, pertama bahwa jika memang benar
pilihannya maka dapat mengungkap masalah dan tujuan tercapai; kedua, gagal atau
sukses dalam mencoba memecahkan masalah memberi pengaruh terhadap tindakan
pendekatan pemecahan masalah berikutnya mungkin semakin efektif, tetapi juga
bisa semakin tidak efektif jika menderita gagal lagi.
Dalam kesempatan lain, Mukhadis (2003)
telah mengembangkan model pengorganisasian isi pembelajaran yang substansinya
untuk meningkatkan hasil belajar pemecahan masalah. Dilandasi oleh pengetahuan
prosedural yang menurut Dahar (1988:78) dibedakan dua macam berupa (1) prosedur
pengenalan pola, dan (2) prosedur urutan tindakan, ia mengintrodusir model
pengorganisasian isi pembelajaran tipe prosedural. Dalam pengkajiannya hasil
belajar ‘prosedur pengenalan pola’ merupakan representasi dari kemampuan
mengenal dan mengklasifikasikan pola-pola stimulus baik internal maupun
eksternal dalam upaya pemecahan masalah. Indikator penguasaan kemampuan untuk
tindakan ini adalah terjadinya proses diferensiasi
dalam memori jangka panjang dalam struktur kognitif pebelajar. Untuk hasil
belajar ‘prosedur urutan tindakan’, merupakan representasi kemampuan dalam
melakukan urutan tindakan (operasi prosedur) terhadap simbul-simbul dalam
pemecahan masalah. Indikator penguasaan ditunjukkan oleh ketepatan melakukan
serangkaian tindakan yang pada akhirnya menghasilkan pemecahan masalah menurut
kondisi tertentu.
Hasil belajar sebagaimana dijelaskan
menurut kemampuan differensiasi dan kemampuan operasi prosedur urutan tindakan
dalam pemecahan masalah pada kondisi tertentu oleh Anderson,1982 (Mukhadis,
2003:20) dikenal dengan proses kompilasi
pengetahuan. Indikatornya berupa refleksi dari proses diferensiasi dan atau
proses diferensiasi dan integrasi skemata yang dimiliki pebelajar dalam
struktur kognitif yang direpresentasikan oleh tindakan pengambilan keputusan
pada kondisi tertentu.
Indikator penguasaan untuk kemampuan penguasaan
urutan tindakan (operasi prosedur), merupakan refleksi dari proses diferensiasi
dan integrasi dan atau penciptaan pengetahuan baru melalui pembentukan dan
pengembangan skemata baru yang diaktualisasikan dalam bentuk tindakan pemecahan
masalah pada kondisi tertentu (Tennyson, 1989:6-8; Mukhadis, 2003:20). Secara
ringkas dilukiskan dalam proses penstrukturan kognitif sebagaimana gambar
diagram berikut ini.
JENIS UNJUK KERJA |
|
SITUASI |
|
PROSES STRUKTUR KOGNITIF |
|
KRITERIA |
|
TINGKATAN UNJUK KERJA |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
1.Pengenalan Pola |
|
|
|
|
|
|
|
Recall |
|
|
|
|
|
|
Bagian dari skema |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
1.
Tidak
dikenal sebelumnya |
|
|
|
Bagian dari skema |
|
|
2. Urutan
Tindakan |
|
|
|
|
|
|
|
Problem solving |
|
|
2. Tidak dikenal sebelumnya |
|
Penciptaan pengetahuan dan integrasi pengembangan sekemata baru |
|
Mengem-bangkan kriteria baru |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Gambar 6
Proses
Penstrukturan Kognitif dalam unjuk Kerja Pengenalan Pola dan Urutan Tindakan
(diadaptasi dari Mukhadis, 2003:21)
Proses diferensiasi, integrasi dan penciptaan
pengetahuan baru dalam struktur kognitif pebelajar sebagai pembentukan skemata
baru dalam upaya tanggap terhadap situasi baru atas dasar sekemata yang
dimiliki merupakan peristiwa transfer belajar. Peristiwa transfer belajar ini
dapat terjadi pada ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Terdapat tiga
dimensi transfer belajar menurut Gallway, 1976:187 (Mukhadis, 2003:22) yakni
(1) transfer positif dan negatif; (2) transfer vertikal (pada topik-topik
tertentu) yang lebih kompleks dan horizontal (pada topik-topik yang berhubungan),
dan (3) transfer yang direncanakan maupun insidental sifatnya.
Dalam pembelajaran yang perlu ditekankan adalah
memfasilitasi kemudahan dan mengoptimalkan terjadinya transfer belajar yang positif,
vertikal atau horizontal, baik yang direncanakan maupun yang insidental.
Pengorganisasian isi bahan belajar dalam
bentuk frame bahan belajar yang dikemas dalam Satuan Acara Perkuliahan (SAP)
akan menentukan mutu pembelajaran dan transfer hasil belajar. Pengorganisasian isi bahan belajar menurut
teori psikologi kognitif berlaku sebagai sumber belajar dan obyek pengamatan
yang memberikan stimulan bagi pembentukan struktur kognitif yang baru yang
lebih bermakna dari struktur kognitif yang sudah ada (skema). Belajar merupakan
konsep konstruktif yaitu perolehan pengalaman baru dihubungkan dengan struktur
kognitif yang sudah ada (skema) kemudian membentuk struktur kognitif baru yang
lebih bermakna. Dengan demikian SAP akan memberikan peranan memperkaya kemungkinan
untuk perolehan informasi baru dan pengetahuan baru yang bermakna dalam
konstruksi pengetahuan pebelajar.
Hasil belajar merupakan hasil
pengintegrasian antara pengetahuan baru dengan yang sudah ada melalui proses
asimilasi dan akomodasi secara terus-menerus sehingga membentuk struktur
kognitif baru. Struktur kognitif baru sebagai hasil belajar selanjutnya akan
menjadi cantolan (slot) pada proses asimilasi dan
akomodasi pada proses belajar berikutnya (Mukhadis, 2003:24).
Seperti halnya pada disiplin matematika dan
ilmu-ilmu lain yang didominasi oleh pola struktur prosedural (procedural
knowledge), pemecahan masalah dalam bidang Akuntansi didasarkan pada
proses alur kerja operasi pemrosesan informasi dalam memori si pemecah masalah.
Tujuan akhir dari pengembangan disiplin Akuntansi menurut AECC, 1992 (Huang,
O’shaughnessy & Wagner, 2005:283) adalah memenuhi fungsi komunikasi dan
pengembangan informasi yang mendukung pengambilan keputusan dalam perekonomian.
Untuk dapat mengembangkan kemampuan itu, setiap
Akuntan memerlukan sejumlah informasi yang berkaitan dengan hasil-hasil
pengukuran terdahulu, berikut sejumlah prosedur yang bisa dimanfaatkan untuk
memecahkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan proses penyesuaian kembali
sejumlah nilai transaksi keuangan yang ada agar informasi yang diberikan sesuai
dengan apa yang seharusnya ada. Akan tetapi, apapun jenis dan bentuknya,
informasi keuangan yang disajikan tunduk pada “konstruk dasar” yang kini
disepakati sebagai domain bidang disiplin Akuntansi. Konstruk
dasar itu oleh Hermanson, Edwards dan Salmonson (1989:23) digambarkan dalam
persamaan berikut:
Harta = Hutang +
Modal
(Assets) (Liabilities)
(Owner’s Equity)
Dari persamaan dasar tersebut,
masing-masing komponen dielaborasi menjadi
Ragam transaksi
keuangan yang mengandung unsur kemampuan pemecahan masalah adalah transaksi
keuangan yang mengubah komposisi dan jumlah dari masing-masing komponen
persamaan dasar Akuntansi Harta = Hutang + Modal. Perubahan akibat transaksi itu ragamnya ada yang hanya mengubah
jumlah dan komposisi pada salah satu komponen saja di antara Harta, Hutang dan
Modal, tetapi ada juga yang mengubah jumlah dan komposisi pada dua atau tiga
komponen sekaligus dalam persamaan dasar Akuntansi. Hermanson, Edwards dan
Salmonson (1989:25-34) mengidentifikasi
jenis-jenis transaksi antara lain:
a.
Transaksi yang mempengaruhi jumlah dan komposisi pada salah satu komponen
persamaan dasar Akuntansi; terdiri dari: (1) investasi tunai dari pemilik (Owner invested cash); (2) pinjam dana
(borrowed money); (3) pembelian peralatan tunai (purchased equipment for cash);
(4) pembelian peralatan dengan kredit (purchased equipment on account) atau
(for-Credit).
b.
Transaksi yang mempengaruhi jumlah
dan komposisi neraca dan komponen persamaan dasar Akuntansi; terdiri dari: (1)
pendapatan jasa dan penerimaan kas tunai (earned
service revenue and received cash);(2) piutang pendapatan jasa (service revenue
earned on account) atau (for Credit);(3) penerimaan piutang tunai (collected
cash on accounts receivable);(4) pembayaran upah (paid wages);(5) pembayaran
biaya sewa (paid rent);(6) penerimaan bukti utang untuk keperluan bahan bakar
dan minyak (received bill for gas and oil used).
Masing-masing
jenis transaksi ini merupakan jenis materi belajar prosedural dan prinsip dasar
yang harus dikuasai oleh pebelajar untuk dapat memperoleh kompetensi dan
ketuntasan dalam belajar Akuntansi Jasa maupun Akuntansi Keuangan secara
keseluruhan.
Sehubungan
dengan adanya ketentuan dalam hukum dagang bahwa setiap Badan Usaha harus
membukukan kegiatan usahanya, dan menyusun laporan keuangan pada akhir tahun
buku, maka menimbulkan usansi menumpuknya masalah akuntansi dan penyelesaiannya
berada di akhir tahun pada siklus Akuntansi. Produk informasi akuntansi yang
harus dihasilkan oleh manajemen untuk memenuhi tuntutan hukum dagang itu berupa
laporan keuangan yang isinya terdiri dari Neraca, Laporan Rugi-Laba, Penjelasan
atas Laporan Rugi-Laba dan Penjelasan atas Perubahan kekayaan bersih atau
perubahan modal.
Laporan keuangan harus berisikan apa yang
seharusnya ada pada saat laporan dikeluarkan (accrual basis). Sementara itu, bukti-bukti atau data kegiatan
usaha dibuat atas dasar apa yang sebenarnya ada pada saat kejadian berlangsung (cash basis). Pada setiap akhir periode
perlu proses penyesuaian atas hasil-hasil pengukuran terdahulu melalui kadiah
dan prosedur tertentu dan benar, sesuai norma pemeriksaan Akuntan yang berlaku
umum.
Kenyataan di lapangan dalam proses perkembangan
usaha, cenderung untuk menangguhkan pembayaran atas beaya-beaya tertentu dan
mempercepat proses penerimaan penghasilan tertentu. Pos-pos penangguhan
pembayaran pada umumnya dilakukan atas pajak penghasilan kepada pemerintah,
beaya pemakaian tenaga kerja, gaji karyawan, beaya iklan dan promosi, serta
pemakaian jasa fihak ketiga. Untuk itu maka rekening “beaya” terutang harus
dibuka sebagai perkiraan hutang antara (accrued liabilities) untuk
kemudian dikredit sebagai penambah kerugian tahun berjalan. Akan tetapi apabila
penundaan terjadi pada penerimaan jasa atau penghasilan tertentu, maka
perkiraan harta antara (accrued assets) harus dibuka dan
didebet dengan nilai yang sama dengan tambahan penghasilan tahun yang berjalan
untuk ini.
Fenomena lain yang harus diperhitungkan
adalah adanya beban yang telah dibayar dalam siklus berjalan, namun seharusnya
dipakai untuk beban beaya operasi tahun siklus atau periode yang akan datang.
Kasus itu umumnya terjadi pada persekot pembayaran pajak penjualan, persediaan
beaya perlengkapan usaha, dan bunga atas hutang-hutang wesel dagang. Untuk itu,
maka sejumlah nilai yang belum dipakai dipindahkan ke dalam kelompok perkiraan
harta (tagihan) melalui ayat jurnal penyesuaian.
Pada akhir periode itu seluruh masalah yang
ada harus diselesaikan serentak pada saat yang sama, pemecahannya harus
dilakukan secara integratif dengan melihat keterkaitan sub-sub komponen sistem
sebagai satu kesatuan. Di bidang Akuntansi, kasus yang penyelesaiannya
memerlukan kemampuan berpikir integratif itu adalah kasus yang ada pada saat
penyusunan Neraca Lajur. Kemampuan berpikir integratif pada kasus penyusunan
Neraca Lajur, jika dipecah menjadi sub masalah maka kemampuan prasyaratnya
bermuara semenjak pemecahan masalah persamaan dasar akuntansi, penjurnalan
transaksi, posting buku-besar, rekapitulasi buku besar untuk memperoleh neraca
percobaan, proses pengecekan kebenaran mutasi masing-masing rekening buku-besar
dengan neraca saldo, posting ayat jurnal penyesuaian, perhitungan neraca saldo
perbaikan dan akhirnya penyelesaian laporan keuangan, dan ditindak lanjuti
proses tutup rekening buku-besar, jurnal balik dan buka kembali rekening
buku-besar awal tahun.
Semua sub masalah tersebut kedalaman isi
materinya bermuara pada pengklasifikasian jenis rekening menurut tingkat
kelancaran pencairan dana untuk sisi aktiva, dan menurut tingkat percepatan
pemenuhan kewajiban untuk sisi pasiva. Kode rekening
buku-besar menunjukkan peranan penting tentang hal ini. Secara garis besar maka
pada sisi aktiva dipilahkan sub masalah menjadi masalah tentang akuntansi
aktiva lancar versus aktiva tidak lancar (aktiva tetap), pada sisi pasiva
dikenal sub masalah tentang akuntansi untuk kewajiban jangka pendek versus
jangka panjang, dan masalah tentang prive serta perubahan modal atau ekuitas.
Berpijak
pada komponen dan aspek masalah tersebut, untuk mengungkapkan kemampuan
menggunakan prosedur pemecahan masalah dalam penelitian ini dikembangkan
7(tujuh) perangkat materi pembelajaran yang berjenjang dari aplikasi konsep
pencatatan secara berpasangan (double
entry recording), hingga pada aplikasi kemampuan pada “proses penyusunan
laporan keuangan melalui Neraca Lajur”. Pokok persoalan yang dipakai sebagai
dasar pengukuran perkembangan kemampuan menemukan prosedur pemecahan masalah
adalah perkembangan kemampuan penguasaan menggunakan prosedur pemecahan masalah
sebagai hasil belajar pengenalan pola dan perkembangan kemampuan menemukan
prosedur baru pemecahan masalah sebagai hasil belajar urutan tindakan dalam pemecahan
masalah kasus-kasus Akuntansi sesuai dengan tingkat kerumitan masalah mulai
dari kasus yang sederhana hingga yang kompleks. Antar kaitan kedua jenis
kemampuan yang dimaksud berikut pembenaran pemilihan topik bahasannya di bidang
Akuntansi dibahas lebih lanjut pada analisis tugas belajar yang dituangkan
dalam preskripsi sampel program pembelajaran.
Perlu
ditegaskan kembali bahwa dari eksemplar pola pemecahan masalah tersebut tampak
adanya kemiripan pola, dan adanya usaha untuk memecahkan masalah tahap demi
tahap menurut alur kerja sistem pemrosesan informasi. Apabila mengikuti alur
kerja pemecahan masalah Dick (1986), tahapan proses itu adalah (1)
menunjukkan masalah sebagai bagian dari proses perolehan
pemahaman terhadap informasi baru; kemudian pengintegrasian
informasi baru dengan apa yang telah ada dalam memori
(2) mencari solusi dengan cara uji prosedur pada situasi baru,;
dan (3) implementasi solusi, diikuti proses melihat kembali
hasil pemecahan yang telah didapatkan,
gagal atau berhasil.
Melalui
ketiga fase prosedural tersebut diharapkan dapat terbentuk suatu struktur
kognitif yang relatif lebih mantap dalam diri pebelajar. Struktur kognitif
inilah yang selanjutnya disimpan dalam memori jangka panjang untuk ‘dipanggil’
kembali pada saat seseorang berhadapan dengan situasi atau persoalan baru yang
mirip dengan apa yang pernah dipelajari.
Setelah mengkaji beberapa pendapat dan
eksemplar tentang prosedur dan tahapan pemecahan masalah, dapat disimpulkan
bahwa sekurang-kurangnya terdapat tiga fase pokok yang harus dilalui seseorang
untuk memecahkan suatu masalah. Sedangkan informasi pada awal kegiatan belajar,
dan pengetahuan hasil belajar terdahulu, merupakan prasyarat bagi pembentukan
struktur kognitif dalam memori, tempat mengintegrasikan apa yang didapatkan
melalui ketiga fase pemecahan masalah itu menjadi suatu bentuk kemampuan baru.
1. Tujuan Pembelajaran
Bidang Akuntansi di LPTK dan Keterkaitannya Dengan Standar Kompetensi Lulusan
(SKL) di SMA/MA.
Dalam konteks ini,
kurikulum Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) untuk mencetak guru
ekonomi dan Akuntansi dirancang berdasarkan Kurikulum Kompetensi (KBK).
Berdasarkan kajian-kajian tentang berbagai pendapat dan konsep, kompetensi guru
yang dituntut minimal mencakup (1) penguasaan bidang studi, (2) pemahaman
tentang peserta didik, (3) penguasaan cara pembelajaran yang mendidik, dan (4)
pengembangan kepribadian dan keprofesionalan. Untuk mengoperasionalkan kegiatan
pembelajaran pada LPTK yang lingkupnya antara lain (1) perencanaan pendidikan,
pengembangan kurikulum, pengalaman belajar, dan evaluasi proses dan hasil
belajar, (2) perancangan dan penyediaan fasilitas pendukung pembelajaran yang
terstandarisasi, (3) melakukan rekruitmen, penempatan, dan pembinaan dosen,
rambu-rambu yang dipakai acuan adalah Standar Kompetensi Guru Pemula (SKGP)
yang dapat disimak pada Lampiran 1 (SKGP SMK, 2004:13-15).
Salah satu dasar pertimbangan SKGP
dikembangkan, adalah tuntutan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) pada
matapelajaran Ekonomi SMA/MA Program Studi IPS atau setara. Minimal lulusan
LPTK harus mampu mengajarkan Akuntansi yang dituntut oleh SKL bagi lulusan
SMA/MA tersebut. SKL dan ruang lingkup materinya dapat disimak pada Lampiran 2
berupa kutipan SKL menurut Kurikulum Nasional 1994 dan Lampiran 3 berupa
kutipan SKL menurut Kurikulum Nasional 2004.
Pada prinsipnya SKL lulusan SMA/MA program studi IPS adalah : (1)
siswa mampu mengidentifikasi struktur dasar Akuntansi, serta menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari, (2) siswa mampu mengerjakan setiap tahap siklus
Akuntansi perusahaan jasa, usaha dagang, dan koperasi, serta mampu
menerapkannya ke dalam kehidupan sehari-hari.
Ruang lingkup materi yang harus dikuasai
siswa SMA/MA program studi IPS adalah: (1) masalah pemakai informasi Akuntansi,
konsep kesatuan usaha, prinsip harga perolehan, transaksi keuangan perusahaan
dan persamaan Akuntansi; (2) tahap pencatatan siklus Akuntansi perusahaan jasa,
tahap pelaporan siklus Akuntansi perusahaan jasa, ciri-ciri dan transaksi
perusahaan dagang, tahap pencatatan siklus Akuntansi perusahaan dagang, tahap
pengikhtisaran siklus Akuntansi perusahaan dagang, tahap pelaporan Akuntansi
siklus Akuntansi perusahaan dagang, Akuntansi
koperasi (SKL Kurikulum 2004,
diambil tanggal 2 Desember 2005 dari http://puspendik.com/ebtanas/ujian2006/
permen_20_unas 2006.htm).
Komposisi isi matakuliah pada Program
Studi Pendidikan Ekonomi FKIP Unlam meliputi Mata kuliah Pengembangan Kepribadian
(MPK), Mata kuliah Keilmuan dan Keterampilan (MKK), Mata kuliah Keahlian
Berkarya (MKB), Mata kuliah Perilaku Berkarya (MPB) dan Mata kuliah
Berkehidupan Bermasyarakat (MPB). Sebaran komposisi satuan kredit semester
untuk 5(lima) kelompok matakuliah dimaksud memiliki jumlah bobot SKS sebagai
kebulatan studi sejumlah 146 SKS. Kelompok-kelompok matakuliah dan jumlah bobot
SKS untuk masing-masing kelompok adalah sebagai berikut:
1.
Matakuliah Pengembangan
Kepribadian (MPK) = 12 SKS
2.
Matakuliah Keilmuan dan
Keterampilan (MKK) = 84 SKS
3.
Matakuliah Keahlian
Berkarya (MKB) = 23 SKS
4.
Matakuliah Perilaku
Berkarya (MPB) = 17 SKS
5.
Matakuliah Berkehidupan
Bermasyarakat (MBB) = 10 SKS
Dalam kelompok MKK ada sejumlah matakuliah yang esensinya
merupakan bagian kompetensi utama dan kompetensi pendukung bidang Akuntansi
yakni terdiri dari matakuliah :
No. |
Nama Mata kuliah |
SKS |
Kompetensi |
1 |
Pengantar Akuntansi I |
2 |
Utama |
2 |
Pengantar Akuntansi II |
2 |
Utama |
3 |
Akuntansi Perpajakan |
2 |
Pendukung |
4 |
Akuntansi Keuangan Menengah I |
2 |
Utama |
5 |
Akuntansi Keuangan Menengah II |
2 |
Utama |
6 |
Akuntansi Biaya I |
3 |
Utama |
7 |
Akuntansi Biaya II |
3 |
Utama |
8 |
Sistem Akuntansi |
2 |
Pendukung |
9 |
Akuntansi Keuangan Lanjutan I |
3 |
Utama |
10 |
Akuntansi Keuangan Lanjutan II |
3 |
Utama |
11 |
Analisa Laporan Keuangan |
3 |
Utama |
12 |
Pemeriksaan Akuntansi |
2 |
Utama |
13 |
Teori Akuntansi |
2 |
Pendukung |
14 |
Akuntansi Perbankan |
2 |
Pendukung |
15 |
Akuntansi Pemerintahan |
2 |
Pendukung |
|
Jumlah SKS |
35 |
|
Dalam kelompok MKB matakuliah yang esensinya merupakan kompetensi
utama dan kompetensi pendukung dari bidang Akuntansi adalah :
No. |
Nama Mata kuliah |
SKS |
Kompetensi |
1 |
Praktik Akuntansi perusahaan jasa dan dagang |
2 |
Utama |
2 |
Praktik Akuntansi perusahaan industri |
2 |
Utama |
3 |
Komputer Akuntansi |
2 |
Pendukung |
Matakuliah-matakuliah yang esensinya mengandung pembekalan
kompetensi utama dan kompetensi pendukung Akuntansi disajikan secara berjenjang
dengan memperhatikan bobot SKS dan isi
prosedural sajian matakuliah. Dari sebanyak 41 SKS tersebut tersebar untuk :
Semester |
Sebaran SKS |
1 2 3 4 5 6 7 8 |
2 2 5 7 7 16 - 2 |
Total |
41 SKS |
Akuntansi Jasa merupakan suatu himpunan
isi prosedural kebulatan kemampuan dari kecakapan Akuntansi yang jika dikuasai
oleh pebelajar maka akan mampu menunjukkan tingkat kemahiran dalam memecahkan
masalah nyata Akuntansi untuk khasanah transaksi keuangan pada
perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam sektor ekonomi pelayanan jasa.
Kompetensi Akuntansi jasa merupakan
kompetensi yang berisi tentang sekalian kecakapan untuk menyelesaikan masalah
bidang Akuntansi untuk perusahaan jasa, yakni berupa unjuk kerja yang paling
akhir berupa kemampuan untuk menyajikan sistem pencatatan transaksi keuangan
dan laporan keuangan untuk perusahaan jasa yang secara rinci terdiri dari
Neraca, Rugi-laba, dan Penjelasan atas Laporan Keuangan. Kompetensi ini
merupakan akumulasi dari berbagai kemampuan yang sifatnya berprasyarat, yang
tiap-tiap kemampuan ini ada dikandung dalam berbagai matakuliah mayor Akuntansi
yang memiliki isi kompetensi utama maupun pendukung.
Praktik pembelajaran untuk Akuntansi
jasa ini secara formal kurikulum dilakukan dalam kegiatan laboratorium yang
dikenal dengan Praktikum Akuntansi Jasa. Karena isi kompetensi yang
dibelajarkan berupa kompetensi-kompetensi utama dan pendukung yang sifatnya
lebih mengarah kepada latihan atau drill maka kegiatan kuliah untuk materi ini
lebih menekankan pada aspek klerikal daripada teorinya. Teori untuk materi isi
Akuntansi jasa diasumsikan sudah dikuasai pebelajar pada saat mereka menempuh
pada matakuliah-matakuliah yang menjadi prasyarat untuk matakuliah Praktikum
Akuntansi Jasa ini. Oleh sebab itu kemampuan pemecahan masalah menjadi hal yang
sentral dan inti dalam pembelajaran Akuntansi untuk memperoleh kebulatan
kompetensi.
Tujuan pembelajaran dari
matakuliah ini adalah agar pebelajar memiliki kemampuan unjuk kerja dari hasil
memahami konsep-konsep esensial tentang prinsip-prinsip, tujuan, ruang lingkup,
cara-cara pendekatan sistem dan pembuatan laporan dalam pengetahuan Akuntansi
perusahan Jasa. Kegiatan pembelajarannya dirancang melalui tiga kegiatan pokok
yakni (1) penyampaian berbagai konsep dasar Akuntansi dalam ilmu organisasi (2)
proses pembelajaran lebih menekankan pada pendekatan topik maupun tematik, dan
(3) keaktifan pebelajar dalam membahas setiap topik melalui diskusi. Menurut
deskripsi kurikulum yang
ada evaluasi ditekankan
pada faktor utama berupa ujian tengah semester dan ujian akhir semester
dan faktor penunjang yang terdiri dari
tugas-tugas, aktivitas kelas dan presensi kehadiran.
Deskripsi pokok bahasan dan sub pokok
bahasan untuk Akuntansi perusahaan jasa dapat diamati pada Lampiran 4.
Secara herarkhi struktur pengembangan
kompetensi Akuntansi perusahaan jasa ditilik dari isi sajian proseduralnya
dapat dilukiskan sebagaimana pada gambar berikut.
Kebulatan
Kompetensi Akuntansi Jasa |
|
|||||||
Penutupan Buku
Besar |
7) |
|||||||
Laporan
Keuangan |
6) |
|||||||
Proses
Penyusunan Laporan Keuangan- Neraca
Lajur |
5) |
|||||||
Jurnal Umum,
Buku Besar, Neraca Saldo |
4) |
|||||||
Pencatatan
Transaksi (Penjurnalan
dan Posting) |
3) |
|||||||
Perkiraan dan
Buku Besar |
2) |
|||||||
Konsep
Persamaan Akuntansi |
1) |
|||||||
Bekal
Kemampuan Awal (prerequisite) |
||||||||
Gambar
7
Struktur
Pengetahuan Prosedural pada Akuntansi Perusahaan Jasa.
2.
Kemampuan Pemecahan Masalah Sebagai Hasil Belajar Pengetahuan Prosedural
a. Jenis Pengetahuan
Belajar dapat dipahami
dalam peristiwa-peristiwa psikologi sebagai transformasi informasi dari masukan
menjadi keluaran. Dalam prosesnya informasi yang dipelajari oleh pebelajar akan
tersusun dalam struktur memori yang dapat disajikan dalam bentuk pengetahuan.
Bagaimana struktur pengetahuan itu tersusun dalam sistem memori, merupakan hal
penting untuk dikaji jika ingin menyusun strategi belajar yang tepat. Squire
(1986) dan Squire et al. (1990) sebagaimana dilaporkan oleh Solso (2001:284),
bahwa representasi pengetahuan dalam taksonomi sistem memori dapat
diklasifikasi menjadi dua bagian besar yaitu pengetahuan deklaratif (declarative) dan nondeklaratif (nondeclarative).
Pengetahuan
deklaratif terdiri dari fakta semantik (semantic
facts) dan peristiwa episodik (episodic
events); sedangkan untuk pengetahuan nondeklaratif terdiri dari kecakapan (skills), prioritas/keutamaan (priming), disposisi (dispositions), non-asosiasi (nonassociative) atau tipe memori yang
lain.
Penyajian informasi
sebagai pengetahuan dapat berbentuk proposisi,
produksi dan gambaran mental (Dahar, 1989:49). Proposisi menyajikan
pengetahuan yang menurut karakteristiknya dikenal dengan pengetahuan deklaratif. Sedangkan produksi menyajikan informasi
berupa pengetahuan prosedural. Pengetahuan deklaratif menyatakan pengetahuan tentang apa sesuatu itu, tetapi
pengetahuan prosedural menyatakan tetang bagaimana melakukan sesuatu.
Pengetahuan prosedural
sekali telah dipelajari dengan baik, maka pengetahuan ini akan bekerja secara
cepat dan otomatis. Aktivasi pengetahuan deklaratif berlangsung lebih lambat,
dan dilakukan oleh individu secara lebih sadar.
Gagne, 1977 (Dahar,
1989:42) mengungkapkan adanya perbedaan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan
prosedural. Seseorang telah belajar informasi verbal, bila ia dapat bercerita
tentang informasi itu. Seseorang telah belajar suatu keterampilan intelektual,
bila ia mengetahui bagaimana melakukan sesuatu sebagai lawan dari mengetahui
apa sesuatu itu. Menurut Ryle, 1949 (Dahar, 1989:42) pengetahuan deklaratif
harus dimiliki semua secara menyeluruh atau tidak sama sekali, sebaliknya
terhadap pengetahuan prosedural dapat saja seseorang mengetahui sebagian
tentang bagaimana melakukan sesuatu karena kemampuannya terbatas.
Pengetahuan deklaratif
dapat dikomunikasikan secara verbal, sedangkan pengetahuan prosedural tidak
dapat dikomunikasikan secara verbal. Mengetahui perbedaan antara pengetahuan
deklaratif dan pengetahuan prosedural sangat berguna untuk kepentingan pembelajaran
karena memang kondisi-kondisi yang diperlukan untuk mempelajari juga berbeda
antara keduanya, meskipun antar keduanya saling berinteraksi.
Produksi merupakan
bentuk penyajian informasi yang
diperlukan bagi pengetahuan prosedural. Produksi merupakan aturan-aturan
kondisi-aksi. Artinya produksi memprogram terjadinya aksi-aksi tertentu pada
kondisi tertentu. Kondisi dari suatu produksi dapat bersifat eksternal terhadap
seseorang, dan dapat juga bersifat internal. Aksi-aksi dari produksi juga
berlaku hal yang sama, yakni dapat bersifat eksternal atau internal.
Ditilik dari taksonomi
hasil belajar Gagne, 1974 (Suhana Chikatla, diambil 20 April 2005 dari http://usaidd.net/~chikatla/misc/
iddcoceptmap.pdf) dapat ditengarai perbedaan antara pengetahuan deklaratif,
prosedural dan afektif. Hasil belajar pengetahuan deklaratif adalah berupa
informasi verbal (verbal information).
Hasil belajar pengetahuan prosedural terdiri dari (1) ketrampilan gerak (motor skills), (2) ketrampilan
intelektual (intellectual skills),
dan (3) strategi kognitif (cognitive
strategies). Hasil belajar pengetahuan afektif adalah pembentukan sikap (attitudes). Dalam hasil belajar
ketrampilan intelektual antara lain terdapat kemampuan pemecahan masalah (problem solving), aturan dan prinsip (rules and principles), konsep-konsep (concepts) serta perbedaan-perbedaan (discriminations).
Gambaran mental, merupakan bentuk penyajian informasi
pengetahuan yang ketiga setelah proposisi dan produksi. Menurut Gagne, 1985:65
(Dahar, 1989:47) mental images merupakan penyajian-penyajian analog. Gambaran
mental merupakan suatu penyajian nonverbal dari suatu obyek konkret atau
kejadian, misalnya berupa gambar (Biehler, 1982:205; Dahar, 1989:47). Gambaran
mental digunakan dalam memori
Gambar
8
Diagram
Ranah Belajar Menurut Gagne (1974)
diadaptasi
dari Suhana Chikatla (diambil 20 April 2005 dari http://usaidd.net/~chikatla/misc/iddcoceptmap.pdf)
kerja untuk memanipulasi informasi
spasial (ruang). Selain itu gambaran mental dapat digunakan untuk memikirkan
dimensi-dimensi abstrak. Gambaran mental juga memperlancar pemahaman dan
pemanggilan (recall). Gambaran mental
telah berperanan penting dalam berteori dan memecahkan masalah dari orang-orang
terkemuka di dunia seperti Albet Einstein dan lainnya; demikian menurut
Shehard, 1978 (Dahar, 1989:48).
b. Belajar Pengetahuan
Prosedural
Ada dua bentuk prosedur
yang perlu diketahui dalam belajar pengetahuan prosedural, yakni (1) prosedur
pengenalan pola dan (2) prosedur urutan-aksi atau tindakan (Dahar, 1989:64).
Prosedur pengenalan
pola mendasari kemampuan untuk mengenal dan mengklasifikasikan pola-pola
stimulus internal dan eksternal. Prosedur urutan-aksi atau tindakan mendasari
kemampuan untuk melakukan urutan-urutan operasi-operasi terhadap simbol-simbol.
Dalam praktik pemecahan masalah prosedur pengenalan pola dan urutan tindakan menjadi
saling terkait; namun demikian pada awal-awal peristiwa belajar antara keduanya
perlu dipisahkan.
Dalam kasus pemecahan
masalah prosedur pengenalan pola acapkali dalam praktiknya akan digabungkan
dengan prosedur urutan tindakan. Hubungan antara prosedur pengenalan pola
dengan prosedur urutan tindakan, perwujudannya mirip dengan hubungan antara
konsep-konsep dan aturan-aturan (Gagne, 1977; Anderson, 1982). Dalam pandangan
Gagne (1977) pengenalan pola merupakan prasyarat kondisi yang diperlukan untuk
penerapan aturan-aturan. Dalam pandangan Gagne (1977) dan Anderson (1982)
pola-pola atau struktur merupakan prasyarat untuk tindakan atau aksi-aksi.
Meskipun dalam realitanya prosedur pengenalan pola dan urutan tindakan sangat
berhubungan dalam tindakan, proses-proses belajar untuk keduanya adalah
berbeda. Karena proses belajarnya berbeda maka isi bahasan dari materi yang
dibelajarkan juga berbeda substansinya. Singkatnya diambil contoh, bahwa
membelajarkan bukti transaksi kuitansi di antara bukti transaksi keuangan yang
lain berbeda dengan membelajarkan bagaimana membuat kuitansi sebagai bukti
transaksi keuangan.
Cara memperoleh
pengetahuan prosedur pengenalan pola
banyak dipelajari oleh pebelajar tanpa instruksi langsung. Proses-proses
yang terlibat dalam hal ini adalah generalisasi dan diskriminasi. Generalisasi
adalah respons yang diberikan pebelajar dengan cara serupa pada
stimulus-stimulus yang berbeda. Generalisasi terjadi secara otomatis, jika dua
produksi yang mempunyai aksi sama berada dalam memori kerja pada waktu yang
sama (Anderson, 1982; Dahar, 1989:69). Mekanismenya adalah mencari
kondisi-kondisi yang serupa, dan menghilangkan kondisi-kondisi yang unik,
kemudian melahirkan produksi yang baru
yang mempertahankan kondisi-kondisi yang sama.
Menurut Anderson, telah
diketahui bahwa generalisasi meningkatkan daerah situasi-situasi untuk
penerapan suatu prosedur, sedangkan diskriminasi justru mengurangi atau
mempersempit daerah ini (Dahar, 1989:70). Diskriminasi mengakibatkan penambahan
pada bagian kondisi dari suatu produksi. Diskriminasi dirangsang bila suatu
prosedur yang telah dikenal, tidak dapat diterapkan. Kegagalan akan memotivasi
pebelajar untuk memahami perbedaan antara situasi di mana prosedur tidak dapat
diterapkan dan stituasi-situasi sebelumnya saat prosedur dapat diterapkan.
Dalam situasi tertentu bisa saja pebelajar mendapat bantuan pembelajar, tetapi
dalam situasi lain dapat saja pebelajar mendapatkannya dari setelah membaca
bahan bacaan, atau melakukan coba-coba. Tujuannya adalah untuk menentukan
apakah yang membedakan situasi-situasi di mana prosedur dapat berhasil, dan
situasi-situasi di mana prosedur gagal. Sekali perbedaan itu ditemukan, situasi
itu akan ditambahkan pada produksi sebagai suatu kondisi yang perlu untuk
menerapkan produksi tersebut.
Dari konteks ini maka
bantuan instruksional penting untuk kasus diskriminasi. Dalam generalisasi
seleksi dan urutan tindakan, contoh-contoh merupakan hal yang penting untuk
meningkatkan kemungkinan seorang pebelajar membentuk produksi pengenalan pola
yang benar. Dalam diskriminasi yang penting adalah seleksi dan urutan dari
tindakan yang bukan contoh dari konsep yang sedang dibelajarkan atau yang
sedang dipelajari pebelajar.
Pengenalan pola dan
urutan tindakan sangat terkait dalam tindakan, karena pengenalan pola acapkali
mempersiapkan urutan tindakan yang akan datang, tetapi dalam belajar dapat
dipisahkan. Sifatnya lebih kepada klasifikasi penolong pebelajar agar mampu
membuat ramalan-ramalan, atau untuk melaksanakan aksi atau tindakan. Proses belajar
urutan tindakan adalah lambat, karena prosesnya berjalan dengan banyak membuat
kesalahan. Anderson (Dahar, 1989:72) menggambarkan prosesnya sebagai berikut.
Bermula pebelajar menyajikan urutan aksi dalam bentuk deklaratif; kemudian
berkembang suatu penyajian prosedural urutan aksi dengan pengalaman dalam
mencoba yang menghasilkan urutan aksi.
Proses demikian ini
merupakan kompilasi pengetahuan, yakni proses pembentukan suatu penyajian untuk
urutan-urutan aksi yang menuju pada tindakan yang lancar dan cepat atau instan.
Kompilasi pengetahuan dengan demikian mengandung dua sub-proses yaitu
proseduralisasi dan komposisi. Proseduralisasi adalah pengguguran
perangsang-perangsang dari pengetahuan deklaratif, sedangkan komposisi adalah
penggabungan beberapa prosedur menjadi satu prosedur.
Langkah-langkah belajar
urutan aksi, dimulai dengan penciptaan suatu penyajian proporsional untuk
prosedur, diikuti langkah kedua yakni menciptakan satu produksi untuk
menyajikan setiap langkah dalam urutan aksi. Selama proseduralisasi kedua
langkah ini selalu terjadi.
Sub-proses lain dari
belajar urutan aksi oleh Anderson, 1982 (Dahar, 1989:73) disebut komposisi.
Selama komposisi beberapa produksi digabung atau disatukan. Produksi-produksi
yang dihasilkan dari proseduralisasi itu kecil, karena memori kerja tidak
mempunyai ruangan untuk penciptaan langsung produksi-produksi besar dari
pengetahuan deklaratif. Tetapi, sekali ada suatu himpunan dari produksi kecil,
produksi besar dapat diciptakan dari produksi kecil ini. Proses ini berlangsung
selama komposisi.
Agar terjadi komposisi,
suatu urutan dari dua produksi harus diaktivasi dalam memori kerja pada waktu
bersamaan. Sistem akan tanggap bahwa aksi dari produksi pertama menimbulkan
kondisi untuk produksi yang kedua, dan akan menghasilkan produksi yang baru
yang memiliki kondisi dari produksi pertama serta aksi-aksi dari kedua
produksi. Kondisi dari produksi kedua akan hilang sebagai informasi yang tidak
diperlukan. Demikianlah implikasi proses aktivasi untuk mendorong komposisi.
c. Strategi Membelajarkan
Pengetahuan Prosedural Pemecahan
Masalah
Disadari bahwa strategi
mengajarkan untuk generalisasi, diskriminasi, proseduralisasi dan komposisi
memang ada mengandung perbedaan, namun untuk memungkinkan adanya transfer belajar
ada strategi yang dapat digunakan untuk setiap macam pengetahuan prosedural.
Strategi itu ialah latihan yang diikuti dengan umpan balik (Dahar, 1989:75).
Jika prosedur itu pengenalan pola, maka kesempatan untuk mengklasifikasikan
contoh-contoh baru dari pola hendaknya diberikan. Umpan balik tidak hanya
memperlihatkan apakah yang dilakukan itu benar, tetapi juga, bila jawabannya
salah, harus ditunjukkan mana dari jawaban itu yang tidak benar, dan mana
bagian yang benar. Jika prosedur berupa urutan aksi atau tindakan, soal-soal
hendaknya berupa aplikasi dari prosedur, dan umpan balik hendaknya menunjukkan
secara tepat dalam hal apa aplikasi atau terapannya yang tidak benar, atau
secara tepat bagaimana cepatnya suatu prosedur yang benar diaplikasikan.
Bentuk-bentuk soal yang
disajikan dan sifat umpan balik berbeda tergantung pada proses belajar yang
dilakukan. Untuk proseduralisasi umpan balik tentang ketepatan lebih sesuai
daripada umpan balik tentang kecepatan. Untuk komposisi umpan balik tentang
kecepatan lebih sesuai. Demikian pula untuk proseduralisasi, perhatian harus
diberikan pada pengurutan soal-soal praktis, sehingga soal-soal yang
menggunakan keterampilan prasyarat mendahului soal yang menggunakan
keterampilan lebih kompleks. Untuk komposisi soal berbagai soal yang serupa
hendaknya diberikan bersamaan. Untuk generalisasi, latihan mengenai
contoh-contoh yang sangat berbeda dalam atribut-atribut yang tidak relevan
harus diberikan, sedangkan untuk diskriminasi latihan tentang contoh dan bukan
contoh diperlukan. Ringkasnya, sifat latihan dan umpan balik adalah berbeda,
meskipun semua prosedur memerlukan latihan dan umpan balik untuk memperolehnya.
Sebaliknya berbeda untuk belajar pengetahuan
deklaratif. Latihan dan umpan balik untuk belajar pengetahuan deklaratif tidak
diperlukan. Dalam belajar pengetahuan deklaratif, yang penting dan utama adalah
pemahaman bagi pebelajar, proses elaborasi dan pengorganisasian pengetahuan itu
oleh pebelajar. Strategi-strategi yang dipreskripsikan diatas jika dirangkum maka
dapat disimak pada tabel rangkuman pada halaman berikut.
Jadi jelas bahwa
belajar pengetahuan Akuntansi yang lebih memerlukan latihan adalah
prosedur-prosedur untuk memecahkan masalah, baik pada materi bahan prasyarat
maupun pada materi untuk kemampuan prosedural yang kompleks. Sebagai
konsekuensinya maka rancangan bahan sajian dalam pola berjenjang aspek isi
pengetahuannya dari yang sederhana menuju ke pengetahuan yang prosedurnya
semakin kompleks akan menunjang pencapaian kebulatan kompetensi pebelajar.
Kendala yang akan dihadapi adalah masalah pengelolaan waktu belajar.
Untuk memberi
kesempatan proses aktivasi dan penciptaan produksi dan berlanjut ke aksi atau
tindakan lancar setiap pebelajar memiliki kecepatan yang berbeda-beda, dengan
demikian batas rentang waktu yang dibutuhkan untuk pembelajaran materi yang
sama tidak dapat berlaku mutlak untuk semua pebelajar. Terkait dengan tujuan
efisien dan efektivitas pembelajaran maka strategi pengorganisasian belajar
pebelajar penting untuk dikembangkan dengan memperhatikan isi dan sifat dari
pengetahuan Akuntansi yang bersifat prosedural, meskipun diakui khasanah isi
pengetahuan deklaratifnya juga sama sekali tidak dapat diabaikan.
C. Pengelolaan
Pembelajaran Kolaboratif
Komponen lain yang melengkapi metode
pengajaran selain pengorganisasian isi adalah pengelolaan pengajaran atau
pengelolaan pembelajaran. Dalam strategi pengelolaan pembelajaran yang harus
diperhatikan menurut Reigeluth dan Merill, 1979 (Degeng, 1989:153) adalah (1)
penjadwalan penggunaan strategi pengajaran, (2) pembuatan catatan kemajuan
belajar pebelajar, dan (3) pengelolaan motivasional. Degeng (1989:153)
menambahkan satu aspek lagi yakni pengelolaan kontrol belajar, yaitu berupa
kebebasan pebelajar untuk melakukan pilihan tindakan belajarnya. Penjadwalan
mengacu kepada kapan dan berapa kali suatu strategi atau komponen strateti
dipakai dalam situasi pembelajaran; pembuatan catatan kemajuan belajar mengacu
kepada kapan dan berapa kali asesmen dilakukan serta bagaimana prosedur
pelaksanaannya; dan pengelolaan motivasional mengacu kepada cara-cara yang
dipakai untuk meningkatkan motivasi belajar. Khusus untuk kontrol belajar
mengacu kepada kebebasan yang diberikan kepada pebelajar untuk memilih dan
melakukan tindakan belajar.
Pengelolaan pembelajaran yang
dipreskripsikan di sini adalah pengelolaan yang esensinya untuk melakukan
perubahan orientasi pendidikan yang selama ini dipakai yaitu pola pengelolaan
yang konvensional, berorientasi pada pencapaian materi bukan pada penguasaan
kemampuan memecahkan persoalan. Salah satu strategi untuk mempreskripsikan
praktik pengelolaan belajar yang menggantikan pola konvensional dikembangkan
pengelolaan belajar kolaboratif. Pengelolaan belajar kolaboratif sesuai dengan
gagasan yang dilontarkan Bruffee (Zamroni, 2000:44) bahwasannya praktik
pengelolaan pendidikan tradisional yang telah menimbulkan kesenjangan akademik,
okupasional dan kultural harus direformasi dengan praktik pendidikan yang
memberi kesempatan kepada pebelajar untuk mengembangkan kerja kelompok.
Kerja kelompok yang didukung oleh
kemandirian yang dimiliki oleh setiap individu anggota kelompok akan mampu
membentuk suasana belajar kerjasama yang diikuti oleh rasa kesalingtergantungan
dengan penuh tanggungjawab di antara anggota-anggota kelompoknya. Bentuk dan
suasana belajar demikian dikenal dengan belajar secara kolaboratif.
1.
Pengertian Belajar Kolaboratif
Konsep belajar kolaboratif sering
diidentikkan dengan konsep belajar kooperatif, tetapi ada yang secara tegas
membedakan antara keduanya. Pendukung konsep kooperatif, Slavin (1990:2)
mengatakan belajar kooperatif mengacu pada variasi metode mengajar dimana
pebelajar bekerja dalam kelompok-kelompok kecil, saling membantu belajar materi
pelajaran, berdiskusi dan saling adu argumentasi, saling mengases
pengetahuan-pengetahuan baru dan dapat saling mengisi kekurangan pengertian
yang dialami. Keberhasilan diukur dari kemampuan mereka untuk meyakinkan bahwa
tiap-tiap individu telah menangkap pokok-pokok materi dan ide-ide kunci yang diajarkan.
Meskipun belajar kooperatif bukan ide baru dalam pendidikan, tetapi hingga kini
masih sedikit pengajar-pengajar menggunakan dan hanya untuk tujuan-tujuan
tertentu, misalnya hanya untuk kegiatan tugas proyek atau membuat laporan tugas
bersama.
Slavin (1990) lebih setuju penggunaan
istilah belajar kooperatif daripada istilah belajar kolaboratif, karena
berbagai hasil penelitian terdahulu telah mengidentifikasikan bahwa belajar
kooperatif dapat digunakan secara efektif pada berbagai jenjang pendidikan untuk
berbagai jenis isi pengajaran, mulai yang matematis hingga membaca, science,
dari ketrampilan dasar hingga pemecahan masalah yang kompleks. Selain itu dapat
digunakan sebagai cara utama pengajar untuk mengorganisasikan pengajaran di
kelas. Ditegaskan pula alasannya oleh Slavin (1990:2) dalam kutipan berikut :
There are many reasons that cooperative
learning is entering the mainstream of educational practice. One is the
extraordinary research base (summarized in this book) supporting the use of
cooperative learning to increase student achievement, as well as such other
outcomes as improved intergroup relations, acceptance of academically
handicapped classmates, and increased self-esteem. Another reason is the
growing realization that students need to learn to think, to solve problems,
and to integrate and apply knowledge and skills, and that cooperative learning
is an excellent means to that end.
Para ahli lain berpandangan, dalam
belajar kooperatif belum tentu ada peristiwa kolaboratif, tetapi memang setiap
peristiwa kolaboratif diperlukan suasana kerjasama atau kooperatif. Berikut
pandangan-pandangan itu memperkuat perbedaan kolaboratif terhadap kooperatif.
Meminjam pernyataan Kreijns, Kirschner
dan Jochems (2003) menyatakan, bahwa: “Just
placing students in groups does not guarantee collaboration... The incentive to
collaborate has to be structured within the groups.” Artinya jika sekedar
membagi-bagi pebelajar dalam kelompok-kelompok tidak menjamin adanya
kolaborasi; yang memicu adanya kolaborasi itu harus dibangun dari dan oleh
dalam kelompok sendiri.
Senada dengan pandangan itu Daniel, B.
(2003) mempertegas bahwa lingkungan belajar kolaboratif, baik yang jelas maupun
yang samar semua dikembangkan berdasar asumsi bahwa pengetahuan adalah sebuah
entitas yang kompleks yang dibentuk oleh konteks sosial, bukan sekedar hasil
yang sederhana dari pemindahan atau sumbangan belaka. Johnson & Johnson
(1987:15) juga menegaskan bahwa kerjasama merupakan dasar kemanusiaan
sebagaimana udara bagi pernafasan kita. Kemampuan pebelajar untuk bekerja
secara kolaboratif dengan lainnya adalah sebagai kunci untuk membangun dan
memelihara kemantapan dalam berkeluarga, karir, persahabatan dan bermasyarakat.
Kemampuan dan keterampilan tak ada gunanya jika tak dapat diterapkan dalam
hubungan kerjasama dengan orang lain.
Ted Panitz (1996) melakukan klarifikasi
definisi antara istilah kooperatif dan kolaboratif sebagai berikut:
Collaboration is a philosophy of interaction
and personal lifestyle whereas cooperation is a structure of interaction
designed to facilitate the accomplishment of an end product or goal.
Collaborative learning (CL) is a personal philosophy, not just a classroom
technique. In all situations where people come together in groups, it suggests
a way of dealing with people which respects and highlights individual group
members’ abilities and contributions. There is sharing of authority and
acceptance of responsibility among group members for the groups actions.
Pembelajaran kolaboratif menurut Totten,
Sills, Digby, & Russ (1991) bukan pendekatan yang baru, berbagai variasinya
sudah digunakan dalam kelas sejak awal tahun 1900-an dan kini semakin menarik perhatian para ahli pendidikan, sejak
munculnya bukti keberhasilan bukan buah dari kemampuan individu tetapi justru
dari paradigma kesalingtergantungan (interdependence)(Stephen
R. Covey, 1997:38).
Konsep belajar kolaboratif menurut Duffy
& Cunningham, 1996 (Paulina Panen, Dina Mustafa & Sekar Winahyu,
2001:63) sejak tahun 1990-an sudah mulai dikembangkan dan telah dikenal sebagai
strategi belajar kelompok untuk menjalin kerjasama dengan sasaran untuk
mencapai prestasi sebagai tujuan dan
telah secara meluas diteliti dan telah didukung oleh berbagai literatur
profesional. Falsafah dan teori sejumlah ahli seperti Dewey (1916),
Vygotsky(1981), dan Piaget (1969) telah menegaskan manfaat sosial dan proses
kolaboratif dalam belajar. Menurut Dewey (1916) pendidikan adalah proses sosial
dalam mana melalui kelompok pebelajar
memperoleh dan berbagi pengalaman baru yang bermakna.
Vygotsky (1981) juga memandang
pendidikan sebagai usaha sosial. Postulatnya mengatakan bahwa sebelum berbagai
fungsi mental diinternalisasikan, untuk itu harus dimulai dari tahapan
eksternal. Maka dari itu interaksi sosial merupakan petunjuk penting untuk
internalisasi yang bermakna. Teori Piaget (1969) tentang epistemologi genetic
menyatakan pentingnya interaksi dengan teman sebaya sebagai sumber stimulasi
kognitif beserta pengembangannya.
Akhir-akhir ini penelitian dan penggagas
teori seperti Johnson & Johnson, (1975), Slavin (1983), Kagan (1985),
Sharan & Sharan (1976), dan cohen (1986) telah mengembangkan pendekatan
pengajaran khususnya untuk belajar kolaboratif. Jika belajar kooperatif
ditujukan untuk memberikan pedoman bagaimana mengorganisasi belajar kelompok
dan menyajikan struktur kegiatan belajar seperti metode Jigsaw (Aronson, et
al.,(1978), pasangan berpikir (think-pair-share)(Kagan
&Kagan, 1994), dan STAD (student
teams Achievement Divisions)(Slavin, 1994). Yang terkini adalah problem
base learning telah memunculkan pendekatan kolaboratif dalam kelompok kecil
(Albanese & Mitchell, 1993). Belajar berbasis masalah menekankan kecermatan
dalam penyusunan skenario masalah, kolaborasi dalam kelompok, bimbingan dari
para tutor, kemudian mencoba pemecahan masalah dan isi belajar adalah pengetahuan dan keterampilan (Savery & Duffy, 1995).
Istilah belajar kolaboratif (collaborative learning) mengacu kepada metode pengajaran yang mana
pebelajar dengan berbagai latar kemampuan bekerja bersama-sama dalam
kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan. Tiap-tiap pebelajar saling
bertanggungjawab atas belajar dengan teman-temannya sebagaimana ia
bertanggungjawab belajar untuk diri sendiri. Keberhasilan tiap individu
merupakan keberhasilan pebelajar lainnya dalam kelompok.
Kesimpulannya, bahwa belajar kolaboratif
merupakan intensitas yang lebih tinggi kadarnya daripada belajar kooperatif.
Secara fisik belajar kolaboratif tak ada beda bentuk maupun formulanya dengan
belajar kooperatif, yang membedakan terletak pada intensitas interaksi, isi
kegiatan dan implikasi yang ditimbulkannya bagi setiap anggota kelompok belajar
yaitu adanya rasa saling ketergantungan dan tanggungjawab yang ditopang oleh
kemandirian dari setiap individu yang terlibat dalam belajar melalui interaksi
sosial. Semua sifat dan bentuk serta karakteristik belajar kooperatif merupakan
prakondisi belajar kolaboratif.
2. Elemen Dasar Belajar
Kolaboratif Melalui Kerjasama
Wujud kerjasama yang mengandung unsur
kolaborasi adalah bukan bentuk kerjasama yang dimaksudkan hanya sekedar
pebelajar duduk berdampingan asyik berbincang satu sama lain dalam satu meja
mengenai tugas masing-masing, dan juga bukan kerjasama dalam arti tugas kelompok
telah diselesaikan oleh satu orang sementara yang lainnya hanya tumpang nama
pada laporan hasil kelompok.
Kerjasama lebih dari hanya sekedar
berdekatan secara fisik, berbagi sama materi pelajaran, saling bantu satu sama
lain; kesemuanya ini penting untuk kerjasama tetapi lebih dari itu
elemen-elemen berikut merupakan dasar dari kerjasama yang kolaboratif, yaitu
(1) kesalingtergantungan secara positif; (2) adanya interaksi saling ketemu
muka dalam bekerjasama; (3) rasa tanggungjawab
individu untuk menyelesaikan tugas bersama; dan (4) dibutuhkannya
keterampilan interpersonal dan kerjasama kelompok kecil (Johnson & Johnson,
1987:12-13).
Kerjasama kolaboratif
menjadi tim yang efektif menurut Schrage (1989)
jika didukung oleh 4(empat) elemen utama berikut ini:
(1) a compelling, shared goal or goals;
(2) team members with unique competencies that will contribute to successful
outcomes; (3) members that operate within a formal structure, with defined
roles that facilitate collective/collaborative work; and (4) mutual respect,
tolerance, and trust .
3. Landasan Teoritis
Belajar Kolaboratif
Teori belajar kolaboratif dimotori oleh
Bruffee (Zamroni, 2000:156) tumbuh dan berkembang atas kesadaran akan
pentingnya pengembangan diri pribadi pebelajar yang holistik, sehingga menuntut
perubahan mendasar proses pembelajaran yang konvensional didominasi oleh
ceramah dengan pengajar sebagai sumber tunggal dan pebelajar sebagai pendengar
yang baik. Teori belajar kolaboratif menekankan pada proses pembelajaran yang digerakkan
oleh keterpaduan aktivitas bersama baik intelektual, sosial dan emosi secara
dinamis baik dari fihak pebelajar maupun pengajar.
Teori ini didasarkan pada gagasan bahwa
pencarian dan pengembangan pengetahuan
adalah merupakan proses aktivitas sosial, dimana pebelajar perlu
mempraktikannya. Pebelajar bukanlah penonton dan pendengar yang pasif, tetapi
mereka harus dilibatkan dalam proses pembelajaran, lingkungan diciptakan untuk
mendorong dan menghargai inisiatif pebelajar, dan perlu perlakuan pemberian
insentif bagi keterlibatan pebelajar. Tujuan akhir adalah menghasilkan
pebelajar yang utuh yakni matang intelektual, sosial dan emosi. Mereka adalah
generasi baru yang diharapkan yang disamping memiliki prestasi akademik
cemerlang, juga memiliki kesetiakawanan dan solidaritas sosial yang kuat.
Praktik pendidikan dibawa ke jalur yang benar yakni menghasilkan manusia yang
ber-“otak” dan ber-“hati” (Zamroni, 2000:146-147).
Mahnaz Moallem (2003:88)
mengidentifikasi 4(empat) tipe pentingnya kerjasama kolaboratif pemecahan
masalah dalam kelompok yang dirangkumkan dari beberapa penelitian antara lain:
(1)
Menumbuhkan
tanggungjawab individu, karena diantara individu menyadari akan adanya
tugas-tugas bersama dalam kelompok (Johnson, Johnson, & Smith, 1991;
Slavin, 1995).
(2)
Meningkatkan komitmen pada kelompok dan
tujuan-tujuan bersama dimana anggota kelompok saling bantu-membantu, saling
membutuhkan, memberikan umpan balik yang tepat, dan memberi dorongan untuk pencapaian
tujuan-tujuan bersama (Johnson, et al., 1991; Slavin, 1995).
(3)
Memperlancar interaksi
antar individu dan antar kelompok di antara anggota kelompok, yang memungkinkan
tiap anggota menampilkan keterampilan sosial dan kompetensi dalam berkomunikasi
(Rubin, Rubin, & Johnson, 1997).
(4)
Memberikan stabilitas
pada kelompok sehingga anggota kelompok dapat bekerjasama dengan anggota lain
dalam waktu yang cukup lama tapi tidak melelahkan dan dapat membangun norma
kelompok, penampilan tugas bersama, dan pola-pola interaksi (McGrath, 1992).
Model kerjasama kolaboratif menurut Mahnaz Moallem (2003:87)
diilustrasikan sebagaimana tampak pada gambar 8. Dalam pandangan Mahnaz Moallem
(2003:86) terdapat dua bentuk interaksi yang dapat digunakan sebagai perantara
dalam belajar yakni (1) interaksi kognitif atau interaksi individual yakni
interaksi dengan isi bahan belajar, dan (2) interaksi sosial atau interaksi
antar individu (interpersonal). Keduanya sangat penting dalam kegiatan belajar,
pandangan konstruktivisme menekankan
bahwa belajar mengetahui(knowing)
memiliki peranan yang sangat vital dalam dimensi interaksi manusia dalam
belajar (Gilbert & Moore, 1998; Knowles, 1990; Moore, 1992;
Mortera-Gutierrez & Murphy, 2000; Murhead, 199, 2000).
Selain itu menurut Vygotsky,
1978 (Mahnaz Moallem, 2003:86) belajar juga merupakan sebuah konstruksi sosial
yang dibangun melalui
bahasa dan diskursus sosial. Shaw, 1996 (Mahnaz
Moallem, 2003:86) juga menunjukkan bahwa dalam pandangan sosial tentang belajar
mengetahui (knowing) ditegaskan,
pengetahuan itu dikonstruksi karena dampak keterlibatan dalam siklus
perkembangan yang memfasilitasi perubahan konseptual pebelajar.
Gambar 9
Model Kolaboratif
(adaptasi dari Collaborative design
model Mahnaz Moallem, 2003:87)
Hubungan sosial akan terjadi pada
lingkungan belajar yang kolaboratif dengan kerjasama serta adanya dialog aktif
(Moore, 1991; Saba & Shearer, 1994). Harasim (1989) melengkapi pandangan
ini, dalam situasi demikian lingkungan belajar akan tampil dalam beragam
perspektif yang memberi kesempatan untuk membentuk tahapan pengetahuan seperti
seorang pebelajar saling bertukar informasi
dengan lainnya, dengan
orang-orang sekitarnya dan dengan para ahli dalam bidang itu (Mahnaz
Moallem, 2003:86). Interaksi sosial telah digunakan sebagai landasan prosedur
belajar pemecahan masalah sebagaimana dirangkum Mahnaz Moallem (2003:87) dari
penelitian Barrows & Tamblyn, 1980; Blacklow & Engel, 1991; Boud, 1985;
Boud & Feletti, 1991; Engel, 1997 dengan tujuan agar terjadi proses
transfer belajar dari guru kepada pebelajar (Knowles, 1975; Peterson, 1996).
Untuk menyusun dan merancang pola belajar yang aktivitasnya kolaboratif
diperlukan frame bahan belajar atau isi materi yang diikuti dengan tugas-tugas.
Bentuk-bentuk pendekatan belajar lainnya
yang mengandung berbagai aspek pendekatan kolaboratif antara lain dikenal
dengan experiential learning, cognitive
apprenticeships, service learning, case-based learning dan project-based learning. Bentuk-bentuk
ini oleh Schmidt, 1984 dikatakan belum komprehensif. Masing-masing hanya
memfokuskan pada aspek tertentu dari belajar kolaboratif. Belajar kooperatif
hanya menekankan pengelompokan pebelajar dan penstrukturan kegiatan, problem-based learning memfokuskan pada penciptaan sekenario masalah dan
memfasilitasi belajar dengan penggunaan tutor. Belum ada yang dengan jelas
menguraikan bagaimana membimbing proses kerja pebelajar pemecahan masalah yang
secara nyata (diambil tanggal 10 Desember 2005 dari http://www.indiana.edu/ ~educr795/
prop1.html).
Belajar kolaboratif meskipun belum
banyak diterapkan dalam praktik, secara
paradigma telah diterima secara luas oleh para ahli pendidikan, karena memiliki
keunggulan-keunggulan, bahkan merupakan bentuk pembelajaran yang paling efektif
(Johnson & Johnson, 1984; Panitz & Panitz,1996).
Belajar kolaboratif sejalan dengan
pandangan Covey (1989:38), bahwa dengan tindakan “berpikir menang/menang”
mengingatkan seseorang yang dipenuhi pertentangan untuk berperilaku kerja tim
sehingga dapat mengendalikan perilaku diri untuk bekerjasama antar sesama dalam
mencapai tujuan bersama. Tindakan ini
merupakan salah satu dari 7(tujuh) kebiasaan sebagai agenda untuk perbaikan
diri dalam lingkup perusahaan yang ditawarkan Covey. Kebiasaan itu
selengkapnya: (1) menjadi proaktif; (2) mengawali dengan bagian dari akhir yang
telah dipikirkan sebagai orientasi dari tujuan; (3) menempatkan yang pertama
sebagai yang utama; (4) berpikir menang/menang; (5) mengutamakan memahami, baru
berusaha dipahami; (6) sinergis, perlu kerja tim, perbedaan adalah yang
berharga; (7) mempertajam pandangan, kebiasaan memperbaharui diri (baik mental,
spiritual,sosial/emosi dan fisik). Covey berkesimpulan bahwa kesuksesan bagi
orang-orang yang pernah berhasil, tercapai berdasarkan pada prinsip dan pada
karakter individu yang bersangkutan (Kreitner & Kinicki, 2000:402).
Untuk menciptakan suasana kelas yang
kreatif, bervariasi dan mengarah kepada pemecahan masalah, Johnson &
Johnson, 1984 menyarankan 5(lima) unsur penting teknik untuk dipertimbangkan
dalam belajar kerjasama yaitu: (1) kesalingtergantungan yang positip (positive interdependence); (2)
interaksi tatapmuka yang menarik (face-to-face
interaction); (3) tanggungjawab perorangan (individual accountability); (4) interpersonil dan kecakapan kerja
kelompok (interpersonal and small group
skills), dan (5) proses kelompok (group
processing). Semua unsur dalam belajar bekerjasama digunakan dalam
situasi-situasi yang kolaboratif.
Dari berbagai pandangan tersebut dapat
disimpulkan bahwa peristiwa belajar kolaboratif akan terjadi jika ada rasa
saling tanggungjawab dan terbentuk dalam suasana kerjasama di antara
anggota-anggota dalam kerja kelompok atau tim. Suasana kolaboratif merupakan esensi
dari belajar kelompok, keberhasilannya sangat tergantung dari kemampuan anggota
kelompok dalam membiasakan diri perilaku dalam kerja kelompok..
4. Perbedaan Belajar
Kolaboratif dengan Belajar Kelompok Tradisional
Keunggulan belajar kolaboratif dibanding
dengan belajar kelompok yang tradisional, sebagaimana dikemukakan oleh Johnson
& Johnson (1987:14) sebagaimana tampak pada tabel berikut.
Belajar kolaboratif mengandung unsur
yang menguntungkan, tetapi banyak guru belum menggunakan, akibat sistem pendidikan
dewasa ini terlalu menekankan pada materi pengajaran (orientasi materi) dan
menghargai keberhasilan individu sebagi buah dari persaingan atau kompetisi.
Selain itu juga karena para guru tidak pernah menerima bekal tentang teknik dan
strategi pembelajaran kolaboratif. Pelatihan-pelatihan yang ada juga jarang
yang secara lengkap membekalkan tentang pembelajaran kolaboratif.
Mengapa para guru bertindak resisten dan
bertahan tidak mau menggunakan teknik pembelajaran kolaboratif, menurut Panitz
dan Panitz (2005) beberapa alasan yang menyebabkannya antara lain:
(1) Takut kehilangan kontrol di dalam kelas, hal ini akibat teknik
kolaboratif lebih memberikan tanggungjawab belajar kepada pebelajar, sehingga
ada ketakutan materi tidak tersampaikan seluruhnya.
(2)
Kehilangan kepercayaan diri, takut dan kurang percaya diri jika menggunakan
teknik kolaboratif menemui kesulitan dalam praktiknya.
Tabel 1
Perbedaan
Belajar Kolaboratif dan Belajar Kelompok Tradisional
Belajar Kolaboratif |
Belajar Kelompok Tradisional |
Kesalingtergantungan
yang positif |
Tak ada
kesalingtergantungan |
Akontabilitas
individu |
Tak ada akontabilitas
individu |
Heterogen |
Homogen |
Kepemimpinan berbagi
bersama |
Kepemimpinan ditangan
satu orang |
Saling Berbagi
tanggungjawab |
Tanggungjawab untuk
diri sendiri |
Lebih menekankan pada
tugas dan pemeliharaan |
Hanya menekankan pada
tugas |
Ketrampilan sosial
sekaligus terajarkan |
Ketrampilan sosial
hanya diasumsikan dan terabaikan |
Guru mengamati dan
mengintervensi |
Guru mengabaikan
fungsi kelompok |
Proses kelompok
sebagai ukuran efektivitasnya |
Tidak ada proses
kelompok |
(3) Khawatir materi pelajaran tak terselesaikan,
penerapan kerja kelompok dan kolaboratif dipandang butuh waktu banyak untuk
interaksi dalam kelompok, untuk merumuskan kesepakatan yang akan
dipresentasikan di kelas.
(4)
Kurangnya bahan yang digunakan di kelas (Irwin et al, 1985); teknik kolaboratif
menuntut guru harus membuat handout yang cukup untuk menciptakan kelas
bersuasana kesalingtergantungan (interdependence).
(5)
Para guru egois; anggapan umum kelas adalah tempat untuk menunjukkan
pengetahuan dan keahlian guru, sehingga guru berperasaan bahwa pebelajar tidak
bisa dipercaya untuk belajar sendiri. Jadi ada unsur ego pada diri guru.
(6)
Kurang mengenal teknik asesmen alternatif; karena pola belajar kolaboratif maka
banyak guru tidak kenal dengan bagaimana mengases kemampuan kelompok dan
melakukan gradasi untuk kelompok.
(7)
Terlalu memperhatikan evaluasi pengajar dan perkembangan individu. Bagi
pengajar yang belum pernah dilatih pembelajaran kolaboratif, aktivitas-aktivitas
semacam ini bisa jadi tidak efektif dalam mengajar dan akhirnya membuat hasil
evaluasi kinerja mereka oleh supervisornya menjadi jelek.
(8)
Pebelajar resisten terhadap teknik kolaboratif. Pada awal pengenalan teknik
kolaboratif, pebelajar akan bereaksi dengan pola lingkungan atau nuansa yang
baru. Nuansa yang sebelumnya pasif, menjadi dirasa ada tanggungjawab belajar,
penuh interaksi, terdorong berpikir kritis pada diri setiap pebelajar.
(9)
Guru kurang mendalami cara mengelola teknik kolaboratif. Persoalan yang sering
terjadi guru sering terkonsentrasi kepada sebagian kecil pebelajar yang
pintar-pintar, dan akhirnya hanya sekelompok kecil ini yang mampu menyelesaikan
tugas-tugas yang diberikan guru.
(10)
Teknik kolaboratif jarang dilatihkan pada pelatihan guru. Pelatihan-pelatihan
tentang metode mengajar tidak mempercepat sosialisasi teknik belajar
kolaboratif.
Kegiatan belajar menurut konstruktivisme
merupakan kegiatan aktif pebelajar untuk menemukan sesuatu dan membangun
sendiri pengetahuannya. Pebelajar harus punya pengalaman dengan membuat
hipotesis, mengetes hipotesis, memanipulasi obyek, memecahkan persoalan,
mencari jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog, mengadakan refleksi,
mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk
membentuk konstruksi yang baru. Pebelajar membentuk pengetahuannya sendiri dan
pengajar membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan itu.
Belajar kolaboratif sangat relevan dan
sangat mungkin untuk dikembangkan karena dalam belajar kolaboratif memungkinkan
berlangsungnya proses belajar yang ciri-cirinya selaras dengan ciri-ciri
belajar konstruktivisme. Pengetahuan pebelajar dalam kelompok dapat dibentuk
baik secara inidividual maupun sosial demikian menurut Shymansky, 1992; Watts
& Pope, 1989 (Suparno, 1997:63).
Belajar secara kolaboratif sangat
membantu pebelajar karena memiliki unsur-unsur yang berguna untuk menantang
pemikiran dan meningkatkan harga diri pebelajar. Kebermanfaatan belajar secara
kolaboratif telah dihimpun oleh Panitz dan Panitz (2005) terdiri dari 38 macam
manfaat:
(1)
Develops higher level thinking skills (Webb 1982)
(2)
Promotes student-faculty interaction and familiarity.
(3)
Increases student retention.
(4)
Builds self esteem in students (Johnson dan Johnson 1989).
(5)
Enhances student satisfaction with the learning experience.
(6)
Promotes a positive attitude toward the subject matter.
(7)
Develops oral communication skills (Yages 1985).
(8)
Develops social interaction skills.
(9)
Promotes positive race relations (Johnson dan Johnson 1972).
(10)
Creates an environment of active, involved, exploratory learning
(Slavin 1990).
(11)
Fosters team building and a team approach to problem solving while
maintaining individual accountability (Cooper et al. 1984; Johnson, Johnson dan
Holubec 1984).
(12)
Encourages diversity understanding (Burnstein dan McRae 1962).
(13)
Encourages student responsibility for learning (Baird dan White
1984).
(14)
Involves students in developing curriculum and class procedures
(Kort 1992).
(15)
Students explore alternate problem solutions in a safe environment
(Sandberg 1995).
(16)
Stimulates critical thinking and helps students clarity ideas
through discussion and debate (Johnson 1973a, 1974a).
(17)
Enhances self management skills (Resnick 1987).
(18)
Fits in well with the contructivist approach (Davis, Mahler dan
Noddings 1990).
(19)
Establishs an atmosphere of cooperation and helping schoolwide
(Deutsch 1975, 1985).
(20)
Students develop responsibility for each other.
(21)
Builds more positive heterogeneous relationships.
(22)
Encourages alternate student assessment techniques (Rosenshine dan
Stevens 1986).
(23)
Fosters and develops interpersonal relationships (Johnson dan
Johnson 1987).
(24)
Modelling problem solving techniques by students’ peers (Schunk
dan Hanson 1985).
(25)
Student are taught how to criticize ideas, not people (Johnson,
Johnson & Holubec 1984)
(26)
Sets high expectations for students and teachers.
(27)
Promotes higher achievement and class attendance (Hagman &
Hayes 1986).
(28)
Students stay on task more and are less disruptive.
(29)
Greater ability students to view situations from others’
perspectives (Development of empathy).
(30)
Creates a stronger social support system (Cohen & Willis
1985).
(31)
Creates a more positive attitude toward teachers, prinsipals and
other school personnel by students and creates a more positive attitude by
teachers toward their students.
(32)
Addresses learning style differences among students (Midkiff &
Thomasson 1993).
(33)
Promotes innovation in teaching and classroom techniques (Slavin
1980, 1990).
(34)
Classroom anxiety is significantly reduced (Kessler, Price &
Wortman 1985).
(35)
Tes anxiety is significantly reduced (Johnson & Johnson 1989).
(36)
Classroom resembles real life social and employment situations.
(37)
Students practice modelling societal and work related roles.
(38)
Collaborative is synergistic with writing across the curriculum.
Bandura (Kreitner & Kinicki,
2000:400) dengan teori belajar sosialnya berpandangan bahwa perilaku
dikendalikan dengan isyarat dan konsekuensi yang berkaitan dengan lingkungan,
dengan demikian proses kognitif atau mental mempengaruhi respons seseorang
terhadap lingkungan. Kesuksesan adalah buah dari kesalingtergantungan (interdependence) Covey (1989:38).
Kesalingtergantungan (interdependence)
mengandung nilai inti perdamaian yang harus dikembangkan yang terdiri dari:(1)
cinta, (2) keharuan, (3) harmoni, (4) toleransi, (5) mengasuh dan berbagi, (6)
interdependensi, (7) pengenalan jiwa orang lain, (8) spiritualitas, dan (9)
perasaan berterimakasih. Harapan suasana damai sebagai cita masyarakat dunia
seperti dicirikan oleh nilai-nilai itu, harus ditumbuh-kembangkan salah satunya
melalui praktik pengajaran pada berbagai jalur dan jenjang pendidikan.
Pengembangan model belajar kolaboratif
merupakan wahana yang tepat untuk misi penanaman nilai-nilai damai ini karena
muatannya sangat relevan untuk mewujudkan karakter dan perilaku individu
anggota masyarakat yang dicitakan. Pembekalan nilai-nilai damai adalah
kebutuhan yang rasional dan mendesak untuk membentuk karakter dan perilaku
pebelajar calon pengajar yang sekaligus juga untuk meningkatkan mutu pendidikan
dalam arti luas.
Secara khusus pembekalan nilai-nilai
damai juga perlu dilakukan pada tiap-tiap matakuliah dengan tidak mengabaikan
esensi dari pembentukan kompetensi sebagai pengajar. Implikasinya maka setiap usaha membelajarkan
pebelajar dengan tujuan peningkatan kompetensi, seyogianya menerapkan pola
pengajaran kolaboratif. Oleh sebab itu peningkatan kemampuan pemecahan masalah
dalam kuliah Akuntansi yang pengelolaan pengajarannya diorganisir secara
kolaboratif, tidak terlepas dari misi untuk membentuk karakter dan perilaku
damai di kalangan calon pendidik sesuai yang dicitakan.
Pendukung-pendukung belajar kolaboratif
berargumentasi, bahwa pertukaran gagasan di antara anggota kelompok tidak saja
meningkatkan minat di antara anggota melainkan juga meningkatkan kemampuan
berpikir kritis. Sebagaimana Johnson dan Johnson (1986:35) berkesimpulan bahwa
terdapat peristiwa persuasif di mana kerjasama tim dapat mencapai tingkat
berpikir tertinggi dan memperoleh informasi lebih banyak ketimbang tiap
individu bekerja sendiri-sendiri meskipun sudah dengan sungguh-sungguh.
Belajar saling berbagi di antara pebelajar memberi
peluang terlibat dalam diskusi, bertanggungjawab untuk keberhasilan belajar
pada dirinya sendiri, dan akhirnya menjadi pemikir kritis demikian menurut Totten, Sills, Digby, &
Russ, 1991 sebagaimana dikutip Gokhale (1995).
Indikasi positif dari belajar kolaboratif yang lain dapat ditengarai
bila dibandingkan dengan pengajaran yang tradisional.
Belajar kolaboratif yang ditekankan
adalah bukan pencapaian hasil belajar tetapi lebih mengutamakan bagaimana
proses belajar yang dialami pebelajar dapat berlangsung yang memungkinkan
proses pembentukan pengetahuan
pada dirinya. Babbage,
Byers & Redding (1999:60)
telah mengiden-tifikasikan proses keterlibatan yang terjadi dalam
proses belajar individu terkait
dengan tujuan belajar pemecahan
masalah. Proses keterlibatan itu antara lain:
(1) knowing-there is a problem to solve;
(2) willing-to solve the problem; (3) analysing-the task; (4) understanding-the
rules of the investigation; (5) asking-appropriate questions; (6)
answering-questions; (7) choosing-the right resources to use; (8)
hypothesising-about what might happen; (9) waiting-for something to happen;
(10) attending-throughout the task; (11) sequencing-thoughts and actions; (12)
assessing-results.
Pada tabel berikut dikutip berbagai indikasi
perbedaan antara pengajaran tradisional dan pengajaran kolaboratif.
Tabel 2
Perbandingan Pengajaran Tradisional dan Pengajaran
Kolaboratif
Pengajaran tradisional (A teacher centered environment) |
Pengajaran Kolaboratif (A student centered environment) |
The teacher is in
control. |
Students are in control of their own learning. |
Power and responsibility are primarily teacher centered. |
Power and responsibility are primarily student centered. |
The teacher is the instructor and decision maker. |
The teacher is a facilitator and guide. The students are the
decision makers. |
The learning experience is often competitive in nature. The competition
is usually between students. Students resent others using their ideas. |
Learning may be co-operative, collaborative or independent.
Students work together to reach a common goal. Students willingly help each
other sharing/exchanging skills and ideas. Students compete with their
own previous performance, not against peers. |
Series of smaller teacher defined tasks organized within
separate subject disciplines. |
Authentic, interdisciplinary projects and problems. |
Learning takes place in
the classroom. |
Learning extends beyond the classroom. |
The content is most
important. |
The way information is processed and used is most
important. |
Students master
knowledge through drill and practice. |
Students evaluate, make decisions and are responsible for their
own learning. Students master knowledge by constructing it. |
Content is not
necessarily learned in context. |
Content is learned in a relevant context. |
Dari pandangan-pandangan
yang telah dipaparkan dapat dikatakan, bahwa belajar secara kolaboratif dapat
meningkatkan partisipasi pebelajar dalam proses belajar. Belajar kolaboratif
merupakan suatu himpunan pendekatan untuk mendidik, yang terkadang juga disebut
sebagai belajar kooperatif atau belajar kelompok kecil. Belajar kolaboratif
menciptakan suasana yang melibatkan pebelajar mengerjakan sesuatu dan berpikir
tentang sesuatu yang ia kerjakan, dan mendorong yang lain untuk ikut terlibat.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa belajar kolaboratif merupakan salah satu
strategi mengajar yang dapat diandalkan untuk dapat membuat proses pembelajaran
menjadi aktif dan efektif yang sekaligus dapat digunakan untuk menanamkan
nilai-nilai perdamaian.
5. Keterampilan
Kerjasama
Menurut
Lundgren (1994:22-26) kolaboratif yang terjadi dalam pengajaran kooperatif
tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi pebelajar juga harus mempelajari
keterampilan-keterampilan khusus yang disebut keterampilan kerjasama
(kooperatif). Ketrampilan kerjasama membuahkan implikasi adanya keterampilan
sosial yang dibutuhkan untuk
berkolaboratif. Keterampilan kerjasama
berfungsi melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat
dibangun dengan mengembangkan komunikasi antar anggota kelompok, sedangkan
peranan tugas dilakukan dengan membagi tugas antar anggota kelompok selama
kegiatan. Rasa kesalingtergantungan tercipta melalui kerjasama kolaboratif.
Keterampilan-keterampilan
bekerjasama tersebut antara lain:
a.
Keterampilan kerjasama
tingkat awal: (a) menggunakan
kesepakatan, (b) menghargai kontribusi, (c) mengambil giliran dan berbagi
tugas, (d) berada dalam kelompok, (e) berada dalam tugas, (f) mendorong
partisipasi, (g) mengundang orang lain untuk berbicara, (h) menyelesaikan tugas
pada waktunya, (i) menghormati perbedaan individu.
b.
Keterampilan tingkat menengah: (a)
menunjukkan penghargaan, (b) mengungkapkan ketidak setujuan dengan cara yang
dapat diterima, (c) mendengarkan dengan aktif, (e) membuat ringkasan, (f) menafsirkan,
(g) mengatur dan mengorganisir, (h) menerima tanggung jawab, (i) mengurangi
ketanggangan.
c.
Keterampilan tingkat mahir: (a)
mengelaborasi, (b) memeriksa dengan cermat, (c) menanyakan kebenaran, (d)
menetapkan tujuan, (e) berkompromi.
Untuk menunjang
pencapaian tujuan belajar, pengelolaan belajar kolaboratif harus diorganisasi
dan dikelola pola interaksi pembelajarannya baik hubungan antara
dosen-pebelajar maupun antar pebelajar sedemikian rupa. Sandra Howard (2001)
melansir seperangkat langkah untuk pengorganisasian proses kerja kolaborasi tim
yang terdiri dari 9(sembilan) hal yakni :
(1) Mengembangkan pemahaman pebelajar pentingnya timkerja (promoting student insight into the
importance of teamwork)
(2)
Pembentukan tim (forming the teams)
(3) Membantu tim memfokuskan tugas pokoknya (helping teams maintain focus through written aids)
(4)
Membagi tanggungjawab
secara bijaksana (distributing
responsibilities wisely)
(5) Mengembangkan tanggungjawab dan akuntabilitas (promoting accountability and responsibility)
(6)
Meningkatkan
ketrampilan menulis (promoting
improved/enhanced writing skills)
(7) Menyiapkan bantuan awal dan umpan balik (providing initial guidance and feedback)
(8) Penggunaan lembar pencatatan untuk pengorganisasian dan
perencanaan (using record-keeping forms for
organizing and planning)
(9)
Pelaksanaan umpan balik
instruktur (ongoing instructor feedback)
6. Tahap-tahap Pembelajaran Kolaboratif
Pengajaran
kolaboratif mempunyai 6 langkah utama (Arend, 2000) yaitu: (1) penyampaian
tujuan dan memotivasi pebelajar; kedua, penyajian informasi dalam bentuk
demonstrasi atau melalui bahan bacaan; (3) pengorganisasian pebelajar ke dalam
kelompok-kelompok belajar; (4) membimbing kelompok bekerja dan belajar; (5)
evaluasi tentang apa yang sudah dipelajari sehingga masing-masing kelompok
mempresentasikan hasil kerjanya; (6) memberikan penghargaan baik secara
kelompok maupun individu.
7. Jenis-jenis Pembelajaran Kolaboratif.
Menurut
Blosser (1992), Slavin (1997), dan Arend (2000) beberapa macam pembelajaran
kolaboratif dapat ditempuh dengan model (1) Student Team Achievement Divisions
(STAD); (2) Teams Games Tournament (TGT); (3) Jigsaw (Jigsaw II dan Jigsaw
III); (4) Investigasi Kelompok; (5) Think Pair Share; dan (6) Numberel Head
Together (NHT). Selain 6(enam) jenis ini, masih ada beberapa lagi model yang
telah dikembangkan para ahli.
Dalam penelitian ini yang
dipakai sebagai dasar untuk pengembangan
pengajaran kolaboratif
dipilih pendekatan investigasi kelompok, pertimbangannya adalah bahwa model ini
sangat relevan dengan karakteristik dari isi dan cara membelajarkan mata kuliah
Akuntansi khususnya menyangkut pembekalan kemampuan dan keterampilan pemecahan
masalah yang preskripsinya dilakukan dengan kerja kelompok, mengutamakan adanya
interaksi sosial dalam belajar dan memungkinkan untuk munculnya suasana
kerjasama yang kolaboratif.
8. Gradasi (Pemberian Nilai)
Esensi dari belajar kolaboratif
adalah persepsi tentang kesalingtergantungan. Salah satu cara untuk menciptakan
persepsi kesalingtergantungan adalah dengan memberikan tantangan pemberian
bonus atau hadiah (reward) atas
prestasi kerja yang didapat dari kesalingtergantungan itu. Menurut Johnson
& Johnson, 1984 (Johnson & Johnson, 1987:137-138) ada 11(sebelas) cara
untuk pola pemberian nilai dan bonus sebagai hadiah (reward).
9. Konsep
Dasar Model Pembelajaran Kolaboratif Investigasi Kelompok
a. Tujuan dan Asumsi
Dewey,
1916 (Udin S.,2001:34) telah
menyarankan bahwa keseluruhan kehidupan sekolah harus ditata sebagai bentuk
kecil atau miniatur kehidupan demokrasi. Untuk itulah pebelajar seyogianya
memperoleh kesempatan dan pengalaman dalam membangun sistem sosial secara
berangsur-angsur belajar bagaimana menerapkan metode yang berwawasan keilmuan
dalam memperbaiki kehidupan masyarakat. Dalam kerangka pemikiran yang demikian
Joyce dan Weil (1996:75) menyatakan bahwa suasana kelas merupakan analogi dari
kehidupan masyarakat, yang didalamnya ada tatatertib, dan budaya kelas. Yang
harus dikembangkan pebelajar adalah memelihara cara hidup, standar hidup dan
pengharapan yang tumbuh di dalam kehidupan kelas.
Oleh sebab
itu tugas dosen harus memfasilitasi dengan menciptakan suasana yang
memungkinkan tumbuhnya kehidupan kelas seperti dimaksud. Pemikiran ini sejalan
dengan usaha untuk mereformasi dunia pendidikan yang mengacu pada perkembangan
ekonomi dan masyarakat yang cepat dan kemampuan tenaga kerja yang diperlukan
yang menetapkan perlunya pengembangan skill dasar bagi setiap pebelajar. Skill
dasar itu menurut Murname dan Levy (Zamroni, 2000:154) meliputi (1) the hard skills, yang mencakup
dasar-dasar matematik, problem solving,
dan kemampuan membaca, (2) the soft
skills, yang meliputi kemampuan bekerja sama dalam kelompok dan kemampuan
untuk menyampaikan ide dengan jelas baik lisan maupun tulis, (3) kemampuan
memahami bahasa komputer yang sederhana, seperti word processor.
Kelas yang
penuh kerjasama secara kolaboratif merupakan gambaran awal untuk tumbuhnya
wawasan pebelajar sebagaimana yang diharapkan dalam hidup demokrasi. Hidup
demokrasi sebagaimana dicitakan, berwujud tampilnya kultur sekolah yang ideal.
Banyak bukti menunjukkan, bahwa kultur sekolah yang guru-gurunya diorganisir
dalam suatu tim yang masing-masing anggotanya memiliki peran yang sederajat,
otonom, saling menghormati, dan saling membantu telah berjalan lebih baik
daripada guru yang diorganisir berdasarkan otoritas yang bersifat hirarkhis
(Zamroni, 2000:39).
Melalui
model investigasi kelompok, pebelajar akan bekerja dan belajar cara-cara
anggota masyarakat melakukan proses mekanisme sosial melalui berbagai proses
pengambilan keputusan untuk memperoleh kesepakatan-kesepakatan. Belajar
kemampuan pemecahan masalah dalam Akuntansi sangat tepat dilakukan dengan model
ini karena selain pengembangan keilmuan secara akademis, pebelajar sekaligus melatih
diri belajar melalui kesepakatan-kesepakatan dan mereka terlibat langsung
praktik dalam pemecahan masalah sosial.
Tiga konsep
utama yang dikandung dalam model investigasi kelompok, yakni (1) penyelidikan
atau inquiry, (2) pengetahuan atau knowledge, dan dinamika belajar kelompok
atau the dynamics of the learning group.
Penyelidikan adalah proses di mana pebelajar dirangsang dengan dihadapkan pada
masalah. Dalam proses ini pebelajar masuk dalam situasi melakukan respon
terhadap masalah yang mereka rasakan untuk dipecahkan. Wujud masalah itu dapat
berasal dari pebelajar sendiri atau dari dosen. Dalam penelitian ini masalah
sudah dipreskripsi dalam bentuk bahan belajar dalam Satuan Acara Perkuliahan
(SAP). Untuk memecahkan masalah tersebut dituntut prosedur dan persyaratan yang
sudah tertentu kaidahnya menurut norma dalam pemecahan masalah kasus Akuntansi.
Kemudian pengetahuan, adalah pengalaman yang didapat oleh pebelajar secara
langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan pemecahan masalah. Dinamika kelompok
menunjuk pada suasana yang menggambarkan
sekelompok individu saling berinteraksi membicarakan sesuatu yang sengaja
dikaji bersama. Proses yang terjadi adalah berbagi gagasan dan pendapat, saling
tukar pengalaman, dan saling adu argumentasi. Ketiga hal inilah yang merupakan
dasar dari investigasi kelompok sebagai unsur-unsur dasar dalam pengelolaan
belajar kolaboratif.
b. Prinsip Pengelolaan
Prinsip
pengelolaan yang digunakan sebagai acuan, bahwa pengembangan sistem sosial
harus berlangsung secara demokratis, ditandai oleh keputusan-keputusan yang
tumbuh dari iklim konsensus atau kesepakatan kelompok dengan pokok masalah
sebagai sentral kegiatan belajar. Dosen diupayakan seminimal mungkin memberi
kontribusi pengarahan, sehingga kelas acapkali tampak tak terstruktur. Dosen
dan pebelajar berstatus sama dalam menghadapi masalah sebagai sentral kegiatan
belajar, tetapi peranannya berbeda. Oleh sebab itu prinsip yang dipegang adalah
bahwa dosen sebagai konselor, konsultan, dan pemberi kritik yang konstruktif.
Bimbingan diarahkan melalui proses tiga tahap: (1) tahap pemecahan masalah, (2)
tahap pengelolaan kelas, dan (3) tahap pemaknaan secara perorangan. Tahap
pemecahan masalah adalah tahap berkaitan dengan upaya menjawab pertanyaan apa
hakikat dan fokus dari masalah. Tahap pengelolaan berkaitan dengan proses
menjawab pertanyaan, antara lain informasi apa yang dibutuhkan, bagaimana
mengorganisir kelompok untuk memperoleh linformasi itu. Tahap pemaknaan
perseorangan berkenaan dengan proses pengkajian bagaimana kelompok menghayati
kesimpulan yang dibuat, dan apa yang membedakan seseorang sebagai hasil dari
terlibat proses tersebut demikian menurut Thelen (Joyce & Weil, 1996:78).
Kegiatan
pembelajaran akan lancar jika sarana pendukung mencukupi. Sarana pendukung itu
antara lain tersedianya bahan kajian untuk mendukung informasi yang diperlukan
untuk pemecahan masalah dalam kelompok. Bahan belajar yang cukup, fasilitas
pendukung sebagai sarana melakukan kalkulasi cukup tersedia. Media penyajian
atau persentasi dalam kelas mendukung.
Dampak
pengajaran yang didapat dengan penerapan belajar kolaboratif investigasi
kelompok sebagaimana dilukiskan oleh Joyce dan Weil (1996:87) antara lain (1)
pandangan konstrutivis tentang pengetahuan terfasilitasi; (2) penelitian yang
berdisiplin, dan (3) proses dan keteraturan kelompok yang efektif. Sedangkan
dampak pengiring yang mengikutinya antara lain: (1) menghormati hak asasi
manusia dan komitmen terhadap keanekaragaman, (2) kemerdekaan sebagai
pebelajar, (3) komitmen terhadap penelitian sosial, dan (4) kehangatan dan
keterikatan antar pebelajar dapat dibangun.
Selanjutnya
tahap-tahap pelaksanaan pengajaran menurut investigasi kelompok meliputi
6(enam) tahap seperti tampak pada gambar berikut.
Gambar 10
Tahapan Model Pengajaran Kolaboratif Melalui
Investigasi Kelompok.
Secara operasional langkah-langkah
(sintak) pengajaran kolaboratif dengan menggunakan model investigasi kelompok
dapat dilukiskan sebagai berikut ( Joice & Weil, 1996:87)
KEGIATAN DOSEN |
LANGKAH POKOK |
KEGIATAN PEBELAJAR |
||||
· Sajikan Situasi Bermasalah |
Situasi Bermasalah |
· Amati Situasi bermasalah · Jelajahi permasalahan |
||||
·
Bimbing
Proses Eksplorasi |
Eksplorasi |
·
Temukan
Kunci permasalahan |
||||
·
Pacu
Diskusi Kelompok |
Perumusan Tugas Belajar Kegiatan Belajar |
·
Rumuskan
apa yang harus dilakukan ·
Atur
Pembagian Tugas dalam kelompok |
||||
·
Pantau
Kegiatan Belajar |
Analisis Kemajuan |
·
Belajar
Individual dan Kelompok ·
Cek
Tugas Yang Harus Dikerjakan |
||||
·
Cek
Kemajuan Belajar Kelompok ·
Dorong
Tindakan |
|
· Cek Proses dan Hasil Penelitian
Kelompok · Lakukan Tindak Lanjut |
Gambar 11
Pengajaran
Kolaboratif Model Investigasi Kelompok, Joyce & Weil, 1996
diadaptasi dari
Udin, 1994 dalam Winataputra (2001:39)
10.
Pengorganisasian Isi Atau Materi Pengajaran Akuntansi
Karakteristik struktur
isi bidang studi menurut Reigeluth, 1984 (Mukhadis, 2003:12) secara umum dapat dikelompokkan menjadi: (1) struktur
orientasi, yang meliputi struktur konseptual, struktur prosedural dan struktur
teoretik, dan (2) struktur pendukung, yang meliputi konseptual, prosedural,
teoretik dan struktur belajar. Struktur
orientasi merupakan struktur yang sangat penting, karena mencakup semua atau
sebagian besar dari isi bidang studi yang akan disajikan, sedangkan struktur
pendukung merupakan struktur isi bidang studi yang berfungsi sebagai pelengkap
untuk memfasilitasi pencapaian tujuan belajar dari struktur orientasi yang
disajikan.
Menurut Wilson, 1985 (Mukhadis, 2003:12)
struktur orientasi bidang studi dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu
struktur orientasi konseptual, prosedural, dan teoretik. Karaktertistik
struktur orientasi pada tipe isi prosedural berbeda dengan karakteristik
struktur orientasi pada tipe isi konseptual ataupun tipe isi teoretik.
Karakteristik struktur orientasi tipe isi prosedural mencakup hubungan
prosedural di antara konstruk isi bidang studi yang penuh dengan isi prosedural
(Reigeluth dan Stein (1983:350).
Terdapat dua kelompok struktur isi
prosedural: (1) kelompok hubungan struktur isi prosedural prasyarat, dan (2)
kelompok hubungan struktur isi prosedural keputusan. Yang pertama merupakan
cara penataan prosedural yang spesifik dalam menentukan langkah-langkah
prosedural tunggal. Kedua, adalah cara penataan yang diawali dengan menunjukkan
faktor-faktor yang diperlukan untuk mengambil suatu keputusan tentang prosedur
atau sub-prosedur alternatif untuk pemecahan masalah dalam situasi tertentu
yang dihadapi. Berhubung hakikat mempelajari isi bidang studi prosedural adalah
mempelajari sejumlah aturan berupa prosedur atau prinsip-prinsip yang telah
ditetapkan untuk diikuti dan dikembangkan dalam pemecahan masalah, maka
pengorganisasian isi tipe prosedural dalam pengajaran akan lebih berpeluang mencapai
kebermaknaan belajar, jika pada akhir sajian isi dilakukan sintesis dan
rangkuman.
Mukhadis (2003: 12) telah
mengidentifikasi hakikat belajar pengetahuan prosedural:
(1)
merupakan proses
belajar tentang bagaimana melakukan sesuatu untuk memecahkan masalah tertentu,
dan bukan mempelajari tentang apa sesuatu itu (Dahar , 1988, dan Gagne, 1985).
(2)
adalah proses
mempelajari tentang operasi (knowledge
about operations), baik dalam ranah motorik maupun ranah kognitif, dan
bukan proses mempelajari pengetahuan tentang suatu objek (knowledge about objects) (Landa, 1980:164).
(3)
adalah proses
mempelajari pengetahuan tentang bagaimana menerapkan konsep, aturan atau pun prinsip untuk memecahkan
masalah pada situasi tertentu, dan bukan proses mempelajari pengetahuan tentang
apa sesuatu itu, menurut Tennyson (1989:4).
Dari ketiga penjelasan itu maka hakikat mempelajari isi prosedural
adalah untuk menguasai pengetahuan prosedural yang berbeda karakteristiknya
dengan pengetahuan deklaratif ataupun pengetahuan teoretik.
Karakteristik lain yang membedakan jenis
pengetahuan prosedural dengan pengetahuan yang lain adalah:
(1)
kapasitas substansi isi
yang dipelajari termasuk dalam ranah keterampilan intelektual Gagne, Anderson
dan Ryle (Anderson, Spiro dan Montague, 1977) dikutip Mukhadis (2003:14
(2)
strategi penyajian isi
yang dipelajari dikemas dalam bentuk produksi (aturan kondisi dan tindakan)
yang memungkinkan terjadinya suatu tindakan pada kondisi tertentu. Bentuk
hubungan antara aturan kondisi dan alternatif tindakan dapat diungkapkan dalam
kalimat:“Jika… (aturan kondisi), maka … (tindakan)”.
(3)
pengetahuan tipe isi
prosedural sifatnya lebih dinamis karena sebagai hasil pengaktifan informasi,
dimana dalam prosesnya bentuk masukan informasi (stimulus) akan berbeda dengan
keluarannya (respon).
(4)
proses pemanggilan
kembali (retrieval) informasi prosedural dari memori jangka panjang dalam
struktur kognitif untuk melakukan pemecahan masalah merupakan proses integrasi
yaitu proses elaborasi dan strukturisasi skemata dalam knowledge base pada
struktur kognitif pebelajar. Menurut Tennyson (1989) proses pemanggilan kembali
jenis informasi prosedural dari knowledge base dalam memori jangka panjang pada
saat kegiatan pemecahan masalah ditunjukkan dengan Gambar di halaman berikut
tentang Proses pemangggilan kembali skemata jenis pengetahuan prosedural
tentang pengetahuan bagaimana melakukan sesuatu pemecahan masalah dalam
knowledge base merupakan bentuk restrukturisasi dan elaborasi skemata yang
terintegrasi dalam perilaku berpikir dan bertindak pebelajar.
Pengorganisasian isi dapat juga
mengikuti kerangka kerja dalam mengajarkan kemampuan pemecahan masalah sebagai
bagian dari keterampilan berpikir sebagaimana yang dilansir oleh Beyer (1999:50) yang
Gambar 12
Ilustrasi Dua Sub-sistem Memori Jangka
Panjang (Memory Long Term)
diadaptasi dari A. Mukhadis, 2003:15)
Keterangan
:
= menunjukkan hierarkis struktur pengetahuan dalam
knowledge base
= menunjukkan proses pemanggilan kembali tiap
jenis pengetahuan yang ada (dalam knowledge base) dalam memberikan respon
terhadap stimulus tertentu.
digambarkan seperti berikut ini.
Berdasar kerangka kerja ini maka pengajaran masalah keterampilan berpikir
termasuk kemampuan pemecahan masalah dapat diorganisasikan menurut gradasi
pertimbangan yang memfokuskan antara dua kutub
untuk isi dan untuk keterampilan pada berbagai tingkatannya.
Untuk organisasi isi dapat menggunakan
pertimbangan apakah isi bersifat pengantar, ataukah sudah merupakan petunjuk
praktis, ataukah penggunaannya yang bebas. Untuk organisasi yang berfokus pada
keterampilan, pertimbangan pengorganisasiannya adalah: apakah penggunaan
ketrampilan sudah otomatis, apakah masih memerlukan petunjuk praktis, ataukah
masih memerlukan transfer atau proses elaborasi. Dari cara kerja
pengorganisasian isi yang demikian maka dapat disusun urutan pengajaran yang
relevan dengan tipe keterampilan berpikir yang diajarkan.
|
|
|
|
|
||||
|
Introductory Lesson |
Guided Practice Lessons |
Independent Use |
|
||||
S K I L
Focus on skill |
|
Focus on content |
|
C O N T E N T |
||||
|
Transfer or Elaboration Lesson |
Guided Practice Lessons |
Autonomous Use |
|
Gambar 13
Fokus Pengajaran dalam Kerangka Kerja
Pengajaran Keterampilan Berpikir
(adaptasi dari Beyer, 1999:50)
Setelah dikaji secara cermat bidang studi
Akuntansi yang dispesifikasikan pada bidang bahasan Akuntansi Perusahaan Jasa
penuh dengan hubungan antar konstruk. Hal ini lebih tampak pada prosedur
perhitungan dalam menyusun laporan keuangan yang terdiri dari Neraca dan Laporan Rugi-Laba, serta penjelasan atas laporan keuangan.
Dengan demikian pokok bahasan ini dapat digolongkan ke dalam isi bidang studi
yang memiliki karakteristik isi prosedural. Oleh karena itu, ciri-ciri
karakteristik yang dimiliki oleh isi prosedural yang diuraikan di atas, dapat
diberlakukan pula pada pokok bahasan isi bidang studi Akuntansi ini. Dengan
kata lain, dalam melakukan pengorganisasian isi pengajaran pada bidang
Akuntansi Perusahaan Jasa, dapat diterapkan prinsip-prinsip pengorganisasian
isi tipe prosedural yang telah dibahas dalam uraian ini.
D. Tinjauan Umum Asesmen
1. Asesmen Dalam Kerangka Sistem
Pengajaran
Asesmen sebagai bagian dari sistem pengajaran merupakan sarana untuk
memantau proses dan kemajuan belajar pebelajar, sekaligus memberikan balikan bagi
perbaikan proses dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dengan
demikian asesmen harus mengacu dan relevan dengan rumusan tujuan yang ingin
dicapai (Reiser & Dick,1996:83). Hakikat asesmen menurut Pasal 63 ayat (1)
point a) dari PP No. 19 Tahun 2005 pengembangannya ditujukan untuk penilaian
hasil belajar oleh pendidik yang dilakukan secara berkesinambungan untuk
memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar. Fungsinya untuk menilai pencapaian kompetensi pebelajar, memenuhi bahan pelaporan
kemajuan hasil belajar dan untuk memperbaiki proses pembelajaran.
Sejalan dengan pemikiran itu pengembangan ini bermaksud mengembangkan
sistem dan perangkat asesmen kelas dalam kawasan variabel metode
pengajaran yang terkait dengan implikasi dari penerapan strategi pengelolaan
dan strategi pengorganisasian belajar (Reigeluth, 1983:21; Degeng, 1989:14)..
Asesmen kelas memerlukan prakondisi variabel metode pengajaran yakni strategi
pengelolaan belajar.
Penerapan hasil pengembangan asesmen akan bermanfaat jika preskripsinya
telah dikaji dan dikembangkan melalui
strategi pengelolaan dan pengorganisasian pengajaran. Oleh sebab itu
pengembangan asesmen untuk tujuan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah di
bidang Akuntansi perlu disertai preskripsi strategi pengelolaan dan
pengorganisasian isi pengajaran yang menopang penguasaan kemampuan pemecahan
masalah bidang Akuntansi.
Preskripsi pengelolaan dikembangkan dengan pendekatan belajar
kolaboratif; sedangkan pengorganisasian isi dipilih pendekatan strategi tingkat
makro dan teori elaborasi digunakan sebagai landasan kerja pengembangannya.
Komponen-komponen dalam teori elaborasi (Reigeluth dan Stein, 1983:342; Degeng,
1989:114) terdiri dari: (1) urutan elaboratif, (2) urutan prasyarat belajar,
(3) rangkuman, (4) sintesis, (5) analogi, (6) pengaktif strategi kognitif, dan
(7) kontrol belajar.
Kemampuan pemecahan masalah bidang Akuntansi merupakan hasil pengajaran
yang diinginkan (desired outcomes),
dan bukan hasil pengajaran yang nyata (actual
outcomes) dalam pengertian probabilistik. Pengembangan asesmen dan
pengelolaan pengajaran ini merupakan pengembangan pada kawasan teori
preskriptif. Pengembangan pada kawasan teori presktiptif adalah ‘goal oriented’, sedangkan teori
deskriptif adalah ‘goal free’ (Reigeluth,
1983: Degeng, 1989:21). Pengembangan asesmen ditujukan untuk meningkatkan
kompetensi kemampuan pemecahan masalah di bidang Akuntansi dan bukan
bermaksud memerikan hasil belajar
Akuntansi.
a.
Pengertian Asesmen
Huba dan Freed (2000:8) mendefinisikan asesmen sebagai
proses dari pengumpulan dan pengujian informasi untuk meningkatkan kejelasan
pengertian tentang apa yang sudah dipelajari oleh pebelajar dari
pengalaman-pengalamannya.
Bagi Anderson (2003:15) tindakan asesmen sangat erat
kaitannya dengan pengambilan keputusan. Semakin
meningkat jumlah peristiwa pengambilan keputusan dari asesmen tentang nasib
pebelajar, semakin serius konsekuensi dan implikasinya dalam jangka panjang. Pengajar
harus serius dalam mengemban masalah asesmen ini. Persoalan-persoalan yang
terkait dengan implikasi atau akibat asesmen antara lain menyangkut (1) aspek
etika dari asesmen; (2) penyiapan pebelajar untuk dilakukan asesmen, dan (3)
akomodasi dan standarisasi.
Astin (1993:2) mengartikan asesmen dengan didasari
pertimbangan untuk tujuan menghimpun informasi yang fungsinya ditujukan bagi
pebelajar, staff, dan lembaga. Fungsinya mengacu kepada tujuan-tujuan sosial
dari universitas, yakni memfasilitasi dan mengembangkan belajar pebelajar,
mengembangkan keterbatasan pengetahuan, dan menyumbangkan diri bagi kepentingan
sosial dan masyarakat. Atas dasar tujuan ini, Astin (1993:2) membedakan dua
kegiatan yang berbeda: (1) sekedar menghimpun informasi (pengukuran), dan (2)
pemanfaatan informasi untuk kepentingan pengembangan lembaga dan individu di
dalamnya.
Pada sisi lain Gipps, 1996 (Headington, 2000:21)
menegaskan, asesmen tidak berada di luar pengajaran dan pembelajaran, tetapi
berada dalam interaksi dinamis di dalamnya. Headington (2000:21) mengutip dari
DES (1988) mendefinisikan asesmen sebagai keseluruhan metode yang biasa
digunakan untuk menaksir atau menilai kinerja individu atau kelompok. Hoy & Gregg (1994:4) menyatakan asesmen adalah suatu cara berpikir tentang proses
belajar. Asesmen bukan tahapan yang terjadi sebelum pengajaran tetapi terjadi
selama dalam proses menganalisa informasi untuk meningkatkan efektivitas
mengajar dengan tujuan pokok: (1) penempatan (placement), (2) pengajaran (instruction),
dan (3) komunikasi (communication).
Rowntree (1999) menyatakan, bahwa asesmen adalah
sesuatu yang penting untuk mencoba mencari tahu tentang pebelajar dan menemukan
hakikat dan kualitas belajarnya, yaitu tentang kelemahan dan kekuatannya, minat
dan keengganan, motivasi dan pendekatan-pendekatan yang digunakan untuk
belajar.
Menurut Popham (1995:7) alasan perlunya melakukan
asesmen, adalah untuk: (1) mendiagnosa kekuatan dan kelemahan pebelajar, (2)
memantau kemajuan belajar, (3) memberi atribut pemberian nilai, dan (4)
menentukan efektivitas pengajaran.
Dari
beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan 4(empat) hal pokok terkait dengan
tindakan asesmen: (1) asesmen membutuhkan informasi yang terhimpun secara
sistematis, dapat dianalisis, dan terintegrasi, (2) tujuan utama proses asesmen
dalam pendidikan adalah untuk menginterpretasikan perbedaan dalam pola-pola
belajar dari pebelajar, (3) asesmen dapat membantu pengajar memfokuskan diri
pada strategi mengajar yang efisien dan tepat, dan (4) asesmen pada dasarnya
merupakan proses yang berlangsung terus-menerus.
b. Tujuan
Asesmen
Herman, Aschbacher, dan Winters (1992) menyatakan
2(dua) tujuan yang paling dasar, yaitu untuk (1) menentukan sejauh mana pebelajar
telah menguasai pengetahuan khusus atau keterampilan-keterampilan (content goal), (2) mendiagnosa
kelemahan dan kelebihan pebelajar dan merancang pengajaran yang sesuai (process goals). Program asesmen berarti
untuk memenuhi tujuan diagnosa dan penempatan, formatif dalam rangka
perencanaan pengajaran, dan evaluasi sumatif untuk kegiatan akhir keseluruhan
pengajaran. Terkait dengan tujuan pertama, asesmen harus difokuskan kepada
hasil belajar dengan menggunakan tes pilihan jawaban (multiple choice) dan asesmen langsung terhadap proyek atau produk
karya pebelajar. Untuk tujuan kedua, asesmen difokuskan kepada perhatian
tentang pemahaman mengapa pebelajar berbuat salah, sehingga yang dibutuhkan
adalah informasi tentang proses daripada hasil belajar, oleh karenanya
teknik-teknik yang tepat digunakan antara lain wawancara, observasi dokumen,
log dan jurnal belajar atau evaluasi diri, daftar isian tentang perilaku, dan
pemikiran-pemikiran pebelajar mengenai proses belajarnya.
Dari pendapat ini dapat dikatakan, bahwa tujuan pokok
dari kegiatan asesmen selain untuk mengetahui penguasaan pengetahuan dan
keterampilan pebelajar (assessment of
learning), yang lebih utama adalah untuk kepentingan diagnosa kesulitan
belajar (assessment for learning).
Asesmen lebih tertuju pada proses belajar daripada hasil belajar. Strategi
asesmen formatif untuk tujuan perbaikan tahapan belajar, sedangkan asesmen
sumatif ditujukan untuk kepentingan melihat pencapaian hasil belajar.
c.
Prinsip-prinsip Asesmen
Pada dasarnya asesmen dilakukan oleh
pengajar setiap hari dengan menggunakan pengukuran formal maupun informal. Komponen terpenting bukan pengukuran dengan tes,
melainkan pada pengumpulan, pencatatan dan penterjemahan yang sistematis dari
kinerja pebelajar.
Prinsip
yang harus diperhatikan dalam pengembangan asesmen menurut The National Board
for Professional Teaching Standards
(diambil 20 Desember 2005 dari http://www.nbpts.org/standards/dev.cfm)
adalah : (1) tugas-tugas harus autentik dan kompleks;
(2) tugas-tugas harus terbuka, memungkinkan pengajar melihat praktiknya; (3)
tugas-tugas harus menyediakan peluang memberdayakan untuk analisis dan
refleksi; (4) pengetahuan materi bidang studi harus menekankan untuk semua penampilan;
(5) tugas-tugas harus memberdayakan guru untuk memberi contoh praktis yang
baik; (6) tiap tugas harus mengases suatu himpunan yang terstandard; dan (7)
tiap standard harus diases oleh lebih dari satu macam tugas.
d. Landasan Teori
Asesmen Kinerja
Asesmen
teman sejawat sebagai salah satu asesmen kinerja sangat terkait dengan teori
belajar sebagai landasan psikologisnya. Teori belajar fleksibilitas kognitif
dari R. Spiro, 1990 (Asmawi Zainul, 2001:5) menegaskan belajar pada dasarnya
sesuatu yang kompleks dan tidak terstruktur. Proses belajar berarti tak pernah
berakhir, selalu ada proses adaptasi dan selalu berubah; oleh karenanya asesmen
dibutuhkan untuk menyertai seluruh kegiatan belajar dan pembelajaran.
J.
Bruner, 1966 (Asmawi Zainul, 2001:5) telah menegaskan bahwa belajar adalah
proses aktif pebelajar yang
mengkonstruksikan gagasan baru atau konsep baru atas dasar konsep, pengetahuan
dan kemampuan yang telah dimiliki. Ada peluang pebelajar untuk bergerak lebih
jauh melampaui informasi yang didapat, karena dia mampu menyusun hipotesis,
membuat keputusan atas dasar struktur kognitifnya. Proses belajar berlangsung
melalui tiga proses, yaitu perolehan, mentransfer dan mengolah kembali. Belajar
membutuhkan dialog intensif antara dosen dan pebelajar. Dialog akan baik jika
dosen mampu masuk dalam struktur
kognitif dan pada tingkat pemahaman pebelajar.
Belajar
merupakan suatu kegiatan pengolahan informasi yang menemukan kebutuhan untuk
mengenal dan menjelaskan gejala yang terjadi di lingkungan pebelajar. Dalam
belajar tercakup tiga hal yakni informasi tentang bagaimana kreativitas tumbuh
di antara para pebelajar, belajar membantu menyusun pengetahuan, dan belajar
membantu mengurutkan pengetahuan sedemikian rupa menjadi bermakna. Dalam
konteks demikian maka assessment
kinerja dibutuhkan untuk dikembangkan dalam praktik penilaian.
Pada
dimensi yang lain, C Rogers, 1969 (Asmawi Zainul, 2001:6) mengidentifikasi
belajar menjadi dua jenis yakni cognitive
learning dan experiental learning. Yang pertama berhubungan dengan pengetahuan
yang sifatnya akademik, sedangkan experiental
learning lebih ke pengetahuan yang sifatnya terapan. Jenis pengetahuan
terapan merupakan landasan kuat untuk tumbuh dan berubahnya pribadi pebelajar,
karena proses keterlibatan pribadi, inisiatif diri, evaluasi diri dan dampak
langsung yang terjadi pada diri pebelajar. Implikasinya belajar harus dilakukan
sendiri oleh pebelajar, sedangkan dosen hanya sebagai fasilitator yang tugas
pokoknya menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar. Asesmen dibutuhkan
untuk mendeteksi aktivitas perolehan kompetensi pebelajar baik pada proses
keterlibatan pribadi, inisiatif, evaluasi diri dan dampak yang dialaminya.
Lebih
lanjut Howard Gardner (Zamroni, 2000:131) melansir bahwa belajar bukan hanya
didominasi oleh aspek kognitif saja tetapi memiliki multi aspek, sehingga
pembelajaran harus memperhatikan aspek-aspek yang lain. Teori lama hanya
memperhatikan kemampuan verbal-linguistics
sensitivity dan kemampuan logical-mathematical;
sedangkan teori multipleabilities,
talents, and skills melibatkan juga kemampuan (1)visual-spatial, (2)bodily-kinesthetic, (3)musical-rhythmical,
(4)interpersonal, (5)intrapersonal, (6)naturalist. Pandangan Gardner
memperjelas, bahwa asesmen hasil maupun proses belajar tidak cukup hanya
mengukur salah satu atau beberapa aspek kemampuan pebelajar, tetapi harus
mengukur seluruh aspek kemampuan pebelajar. Penggunaan penilaian hanya dengan
tes formal tidak cukup memenuhi kaidah asesmen kinerja yang menjadi acuan untuk memenuhi standar nasional
pendidikan.
Dari keempat teori belajar ini maka jelas
bahwa asesmen alternatif dibutuhkan sebagai sarana untuk menghimpun dan
melengkapi informasi tentang proses perolehan belajar dan hasil belajar yang
digunakan untuk tujuan pengambilan keputusan dan untuk memberikan umpanbalik
kepada pebelajar maupun pihak lain berkepentingan tentang perlu tidaknya tindak
lanjut atas proses dan hasil pembelajaran.
e.
Asumsi-asumsi Dan Karakteristik Asesmen
Kinerja
Gagasan asesmen autentik atau
alternatif termasuk asesmen teman sejawat sebagai asesmen kinerja dikembangkan
dalam rangka memenuhi tuntutan diterapkannya standard kompetensi yang digunakan
sebagai acuan oleh lembaga pendidikan dalam proses pendidikannya.
Asumsi-asumsi yang digunakan menurut Wangsatorntanakhun (1997) adalah
bahwa:
(1) Pengetahuan itu dikonstruksi. Karena itu
partisipasi aktif pebelajar dalam belajar adalah kunci dari asesmen kinerja.
(2) Tugas adalah bermanfaat. Tugas yang ideal
adalah berkaitan dengan pengajaran, mengaktifkan keterlibatan pebelajar dalam
aktivitas belajar yang bermanfaat.
(3) Asesmen yang baik meningkatkan pengajaran. Semua
tujuan asesmen adalah menyediakan informasi yang sahih untuk pengambilan keputusan.
(4) Kesepakatan kriteria mendorong belajar.
Pebelajar akan aktif terlibat dalam belajarnya, jika mereka harus tampil
terbaik, ketika mereka tahu bahwa tujuan
mereka bekerja untuk masa depan, ketika mereka memiliki peluang untuk meguji
model belajar yang terbaik, dan ketika mereka mengerti bahwa bagaimana
kinerjanya akan dibandingkan dengan kriteria.
Asesmen kinerja sebagai asesmen autentik dengan
demikian memiliki basis pengembangan dari standard kompetensi. Asesmen autentik
yang diselenggarakan dalam konteks kelas akan meliputi kegiatan-kegiatan
penilaian yang bersifat formatif dan sumatif yang masing-masing menggunakan
acuan kriteria. Implikasinya bagi setiap pengajar dalam menerapkan kriteria
untuk mengacu standar kompetensi yang diajarkan harus melakukan pengembangan
matriks kompetensi belajar yang menjamin pengalaman belajar yang terarah dan
pengembangan penilaian outentik yang bersifat berkelanjutan sehingga menjamin
pencapaian dan penguasaan kompetensi yang diharapkan. Untuk dapat mengembangkan
kedua hal ini seorang pengajar harus mengetahui komponen-komponen pendukung
dari asesmen tersebut.
Asesmen kompetensi menurut Wolf, 1995 (Asmawi Zainul,
2004:10) garis besarnya terdiri dari komponen-komponen (1) tujuan yang harus
dinyatakan secara akurat dan dalam terminologi tingkah laku (behavioral terms); (2) kriteria untuk
asesmen harus dinyatakan secara terbuka dan eksplisit; (3) penolakan terhadap
penetapan masa belajar dan persyaratan masuk bagi calon peserta didik; (4)
persyaratan kelulusan adalah kemampuan mendemonstrasikan kompetensi dalam
profesinya; (5) needs assessment
menjadi suatu yang esensial untuk mengidentifikasi kompetensi peserta didik;
dan (6) personalisasi program pembelajaran dan individualisasi asesmen.
Untuk
merancang program pembelajaran dan sistem asesmen yang tepat perlu diketahui
karakteristik-karakteristik asesmen yang berbasis kompetensi. Wolf,
1995 (Asmawi Zainul, 2004:10) mengidentifikasikan karakteristik asesmen
berbasis kompetensi terdiri dari:
(1)
One-to one correspondence with outcome-base-standards.
(2)
Individualized assessment.
(3)
Competent/not yet competent judgement only.
(4)
Assessment in the workplace.
(5)
No specified time for completion of assessment.
(6)
No specified course of learning/study.
(7)
The only condition for achieving is successful
assessment on all performance criteria.
Dalam
kesempatan lain Djemari Mardapi (2004:5) juga mengemukakan
karakteristik-karakteristik asesmen berbasis kompetensi yang meliputi: (1) hasil belajar merupakan
kemampuan atau kompetensi yang dapat didemonstrasikan, (2) kecepatan belajar pebelajar berbeda dalam mencapai
ketuntasan belajar, (3) asesmen hasil belajar menggunakan acuan kriteria, dan
(4) adanya program pembelajaran remidi dan pengayaan, (5) pengajar atau
pendidik merancang pengalaman belajar peserta didik (6) pengajar adalah
fasilitator, (7) pembelajaran mencakup aspek afektif yang terintegrasi dalam
semua bidang studi.
Dalam kesempatan yang sama Djemari Mardapi (2004:7)
juga telah mengemukakan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam asesmen
atau penilaian. Prinsip asesmen atau penilaian yang penting adalah akurat,
ekonomis, dan mendorong peningkatan kualitas pembelajaran; oleh sebab itu
sistem asesmen yang digunakan di setiap lembaga pendidikan harus mampu: (1)
memberi informasi yang akurat, (2) mendorong peserta didik belajar, (3)
memotivasi tenaga pendidik mengajar, (4) meningkatkan kinerja lembaga, dan (5)
meningkatkan kualitas pendidikan.
Terkait khusus dengan asesmen kinerja, Popham
(1995:147) mensyaratkan adanya 7(tujuh) kriteria yang harus digunakan dalam
melakukan asesmen yakni: (1) Generability,
yakni apakah kinerja peserta tes dalam melakukan tugas yang diberikan sudah
memadai untuk digeneralisasikan kepada tugas-tugas lain; (2) Authenticity, yakni apakah tugas yang diberikan
sudah serupa dengan apa yang dihadapi dalam praktik kehidupan nyata
sehari-hari; (3) Multiple foci, yakni
apakah tugas yang diberikan kepada peserta tes sudah mengukur lebih dari satu
kemampuan yang diinginkan; (4) Teachability,
yakni apakah tugas yang diberikan merupakan tugas yang relevan yang hasilnya
semakin baik akibat adanya usaha mengajar pengajar di kelas; (5) Fairness, yakni apakah tugas yang
diberikan sudah adil (fair), tidak
mengandung bias berdasar latar untuk semua peserta tes; (6) Feasibillity, yakni apakah tugas-tugas
yang diberikan dalam penilaian keterampilan atau penilaian kinerja memang
relevan untuk dapat dilaksanakan mengingat faktor-faktor seperti biaya,
ruangan/tempat, waktu, atau peralatannya; (7) Scorability, yakni apakah tugas yang diberikan nanti dapat diskor
dengan akurat dan reliabel, karena salah satu tahap dalam penilaian kinerja
yang sensitif adalah perlakuan dalam pemberian skor.
f. Perbedaan Asesmen
Kinerja dan Asesmen Tunggal
Kecenderungan dewasa ini asesmen kinerja digunakan secara luas
dalam lingkup pendidikan, berawal dari rasa tidak puas terhadap penggunaan
asesmen tunggal berupa tes baku yang dianggap tidak mampu menampilkan kemampuan
pebelajar secara holistik. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan asesmen
tunggal adalah tes baku yang secara tradisional digunakan untuk mengukur
perkembangan belajar yang pada umumnya berbentuk tes obyektif. Tes obyektif
hanya memungkinkan peserta tes untuk memilih satu pilihan jawaban yang benar.
Format tes baku biasanya berbentuk pilihan ganda, satu butir disediakan tiga
atau lima pilihan kemungkinan jawaban. Sebelum digunakan, tes-tes ini
distandardisasikan terlebih dahulu.
Perkembangan selanjutnya tes baku telah merambah penggunaannya ke
tingkat kelas, yang digunakan dengan tujuan untuk penilaian formatif yang
bentuknya juga menggunakan format tes baku. Istilah tes baku sebagai asesmen
tunggal karena memang tidak ada alternatif lain menjadi istilah yang digunakan
untuk menyebut tes-tes yang diterapkan di kelas sebagaimana dimaksud itu.
Ditilik
dari prosedur untuk merancang instrumennya menurut Anderson (2003:48-73)
perbedaan antara asesmen alternatif dengan asesmen konvensional terletak pada
4(empat) langkah dalam merancang instrumen yaitu pada langkah ke 4, 5, 7 dan 10
dari 10(sepuluh) langkah yang ada berikut ini.
Prosedur merancang instrumen Asesmen
kecakapan pebelajar:
1. Tentukan tujuan dan gunakan tabel
taksonomi untuk menentukan sel-sel yang sesuai untuk rumusan tujuan tersebut.
2. Tentukan banyaknya jumlah unit asesmen.
3. Tuliskan tugas asesmen dari setiap
tujuan.
4.
Setelah tugas asesmen direview pihak lain, lakukan perubahan jika perlu.
5. Persiapkan unit asesmen
6. Persiapkan metode penskoran
7. Administrasikan unit asesmen
8. Analisis hasil asesmen
9.
Nilai skor pebelajar pada setiap unit asesmen
10. Simpan instrumen asesmen, hasil analisis
dan daftar skor dalam file folder.
Dari sisi lain perbedaan asesmen alternatif
dengan asesmen tunggal berupa tes baku dapat diidentifikasi sebagai berikut:
Tabel 3
Perbedaan Asesmen Alternatif dan Tes Baku
Asesmen alternatif |
Tes baku |
1. Testee diminta menunjukkan respon
terhadap tugas, tidak mengenal ada benar atau salah tetapi seberapa jauh
telah dikerjakannya tugas. 2. Pada umumnya testee diminta untuk membuat
sesuatu atau mengerjakan sesuatu perbuatan tertentu. 3. Tugas bersifat autentik dikaitkan
dengan kehidupan nyata, problemnya praktis. 4. Menggunakan kriteria penilaian berupa
rubrik sebagai salah satu komponennya. 5. Sangat dimungkinkan untuk memperoleh
informasi aspek afektif (kepribadian) pebelajar. |
1. Testee diminta menunjukkan respon
memilih benar atau salah, atau ya apa tidak. 2. Testee pada umumnya diminta untuk
menuliskan responnya. 3. Soal-soal tes seringkali artifisial
hanya dalam kelas. 4. Tidak menggunakan rubrik sebagai
kriteria penilaian, tetapi cukup menggunakan kunci jawaban. 5. Tidak memungkinkan untuk memperoleh
informasi tentang aspek afektif (kepribadian) pebelajar. |
2. Sistem Asesmen Dalam Pengajaran di Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan (LPTK).
Menurut pasal 25 PP 19 Tahun 2005 hasil
belajar calon guru dikategorikan dalam tiga aspek yaitu pengetahuan,
keterampilan, dan sikap (termasuk kepribadian). Ketiga aspek ini merupakan
kemampuan yang bersifat holistik untuk mendukung profesi calon guru yang
mencakup kompetensi-kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial.
Berdasarkan PP 19 Tahun 2005 pasal 17
ayat (4) kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk setiap program studi di
perguruan tinggi dikembangkan dan ditetapkan oleh masing-masing perguruan
tinggi dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Setiap program studi
bertanggungjawab untuk mengembangkan kurikulum, silabus, desain pembelajaran,
dan sistem asesmennya berdasarkan standar kompetensi lulusan yang ingin
dicapai. Oleh karena itu program studi akan dievaluasi tingkat pencapaian
standar kompetensi lulusannya, salah satu diantaranya didasarkan pada hasil
asesmen terhadap pebelajarnya.
Ada tiga tahapan asesmen yang perlu
dilakukan di LPTK. Pertama, asesmen oleh dosen untuk mengukur tingkat
penguasaan kompetensi pebelajar dalam mata kuliah di bawah binaannya. Kedua,
asesmen untuk mengukur penguasaan calon guru atas standar kompetensi yang
dilaksanakan oleh program studi. Ketiga, berupa ujian sertifikasi kompetensi
mengajar, oleh lembaga independen dan profesional. Bagi pebelajar lulus
assessment tahap kedua oleh program studi, dapat mengikuti asesmen tahap ketiga
(PSABK, 2005:8).
Pebelajar
berhak mengikuti asesmen kompetensi lulusan, jika yang bersangkutan telah
menyelesaikan dan lulus seluruh mata kuliah dan persyaratan lainnya. Kemudian
jika mereka berhasil lulus mengikuti asesmen kompetensi lulusan, mereka berhak
mengikuti asesmen kompetensi mengajar sebagai guru pemula. Asesmen kompetensi
mengajar sebagai guru pemula juga
berlaku bagi lulusan non-LPTK. Hanya peserta yang lulus asesmen kompetensi
mengajar yang berhak mendapat sertifikat kompetensi mengajar sebagai guru
pemula. Diagram pada Gambar di halaman berikut memperjelas kedudukan sistem
asesmen dalam sistem pembelajaran di LPTK. Pengembangan
model asesmen teman sejawat ini difokuskan pada asesmen kompetensi matakuliah
yang dilaksanakan oleh dosen pengajar Akuntansi.
Untuk memperbaiki praktik asesmen di perguruan tinggi Ramsden,
1992 (James, 1994) mengajukan
14(empatbelas) aturan untuk asesmen yang baik di perguruan tinggi, yakni:
(1)
Kaitkan asesmen pada
belajar: pusatkan pertama pada pelajaran, kedua pada usaha yang memberi
harapan, dan ketiga pada penentuan gradasi; lakukan ases sepanjang pengalaman
belajar hingga akhir pelajaran; atur
tugas yang mirip dengan permasalahan realistis jika memungkinkan; integrasikan
dan berikan penghargaan.
(2)
Jangan pernah mengases tanpa
memberi komentar kepada para pebelajar tentang kemungkinan bagaimana mereka
dapat meningkatkan diri.
(3)
Belajarlah
dari kekeliruan yang diperbuat pebelajar. Gunakanlah asesmen untuk menemukan kesalah-pahaman mereka,
kemudian memodifikasi pengajaran untuk memperbaiki
kesalahpahaman itu.
(4)
Tebarkan
berbagai metode asesmen.
Coba
libatkan pebelajar dalam proses asesmen melalui
: a) diskusi tentang metode yang sesuai dan mengapa metode dikaitkan
dengan tujuan pengajaran, b) gabungkan
staff-siswa untuk merancang pertanyaan-pertanyaan asesmen dannegosiasikan
tentang kriteria sukses dan gagal, dan c) tawarkan pilihan metode asesmen
kepada pebelajar secara bertanggungjawab antara kegiatan self asssesment dan peer
assessment.
(5)
Beri pesan sesering
mungkin yang mudah diikuti, baik dalam pertanyaan-pertanyaan asesmen yang
dibuat dan dalam sasaran pengajaran, yang direkam, direproduksi, dan ditiru
yang akhirnya keberhasilan pengajaran hanya akan dapat dicapai ditentukan
melalui peragaan pengertian.
Asesmen Kompetensi Mata
Kuliah |
Didasarkan
pada kajian teoritik dan need
assessment serta kebutuhan konsumen |
|
|||||||
|
Asesmen Tahap I Oleh Dosen Pembina Kuliah |
||||||||
ya
Asesmen
Kompetensi Lulusan |
tidak |
Asesmen Tahap II Oleh Prodi LPTK Dalam Bentuk
Ujian komprehensif dan Tugas Akhir |
|||||||
Asesmen Kompetensi
Mengajar |
|
Assemen Tahap III Oleh Lembaga Independen
Profesional |
|||||||
Ya
Sertifikat
Kompetensi Mengajar |
tidak |
|
Gambar 14
Tahapan Asesmen dalam
Sistem Pembelajaran di LPTK
(adaptasi dari PSABK,
2005:7)
(6)
Pikirkan hubungan
antara laporan dan umpan balik; membenarkan pada alasan-alasan yang mendidik
baik secara terpisah maupun kombinasi menyangkut fungsi sumatif dan
diagnostik test tertentu.
(7)
Gunakan pilihan
ganda dan 'objective tests yang lain
dengan hati-hati, lebih bagus bila dikombinasi dengan metoda lain. Mengenai
kapan teknik alternatif ini dipakai, dasarkan pada hasil prestasi pebelajar dan
waktu yang tepat untuk digunakan.
(8)
Dalam hal-hal yang
melibatkan manipulasi kuantitatif, selalu dituntut adanya penjelasan rinci atas pertanyaan-pertanyaan;
sebagai contoh pertanyaan " Apa artinya jika dikatakan bahwa simpangan
baku adalah 1.8?" untuk itu perlu contoh-contoh numerik.
(9)
Pusatkan pada validitas
tentang apa yang penting untuk diukur sebelum reliabilitas atas konsistensi tes
yang dilakukan. Cobalah untuk menghindari godaan untuk aspek test trifling sebab hal tersebut lebih
mudah untuk diukur dibanding masalah
validitas dan reliabilitas.
(10)
Kerjakan sesuatu yang
sesuai dengan kemampuan untuk belajar dari keraguan yang muncul akibat asesmen.
(11) "Ujian adalah kejadian yang dibentuk dan disiapkan dengan
sebaik-baiknya”. Jangan pernah membuat pertanyaan ujian atau tugas yang
jawabannya sendiri belum siap. Latih
kebiasaan menulis model jawaban atas pertanyaan yang dibuat dan gunakan
untuk membantu pebelajar menghargai apa yang diinginkan.
(12) Kurangi persaingan antar siswa dari aspek asesmen. Secara serempak
gunakan rangsangan untuk berhasil melawan tuntutan terhadap suatu standard
(gunakan penilaian hasil kerja kelompok dan buat standard dari beberapa siswa
sebagai contoh).
(13) Menaruh curiga atas ketelitian dan obyektifitas dari semua
pengukuran kemampuan siswa, dan sadar bahwa tiap pengambilan keputusan adalah
unsur yang paling utama tiap-tiap indikator dari prestasi.
Berpijak pada kedudukan sistem
asesmen di LPTK dan tuntutan dari PP 19 Tahun 2005 sebagaimana telah diuraikan
di atas maka preskripsi pengembangan ini merupakan asesmen pada tingkat asesmen
matakuliah atau asesmen kelas yang pelaksananya adalah dosen pembina
matakuliah. Dalam pengembangannya perlu mempedulikan aturan-aturan tertentu
agar memenuhi fungsinya.
Ditilik dari tradisi yang telah
dikembangkan oleh para pakar pendidikan tentang pembelajaran, menurut Joice dan
Weil (1996) dapat dikelompokan menjadi 4(empat) model mengajar yang
eksplanasinya berisi pembelajaran, yaitu (1) kelompok model pengolahan
informasi, (2) kelompok model personal, (3) kelompok model sosial, dan (4)
kelompok model sistim perilaku. Apa pun model pembelajaran yang dilakukan
dosen, sistem pembelajaran senantiasa mengharuskan adanya asesmen.
Tradisi asesmen selama ini lebih
berorientasi pada evaluasi yang senantiasa menekankan pengembangan pebelajar
sebagai individu. Jarang asesmen yang ditujukan untuk kepentingan pemanfaatan
informasi proses pembelajaran yang mengembangkan pebelajar secara bersama
sebagai suatu kelompok tim kerja. Pengaruh budaya belajar menekankan isi materi
sangat dominan. Mulai dari evaluasi tugas harian, tanya jawab dan diskusi
kelas, ujian tengah semester sampai evaluasi akhir hasil studi, hampir semuanya
merupakan tugas individual dan mengarah pada nuansa penggunaan tes tunggal atau
tes baku semata. Tradisi asesmen yang tunggal oleh kalangan ahli mulai disadari
mengandung kelemahan, antara lain tidak dapat mendeteksi tentang bagaimana
proses belajar telah terjadi sehingga tidak diketahui tindakan tepat untuk
perbaikan atau memberi bantuan pada tahapan belajar yang menimbulkan kesulitan
pebelajar. Untuk mendeteksi keberhasilan
belajar pebelajar yang dilandasi dengan penanaman semangat kerjasama dan
solidaritas sosial tidak cukup mengandalkan asesmen tunggal berupa evaluasi
dengan tes baku. Tes baku tidak dapat mendeteksi secara cermat kawasan-kawasan
kemampuan di luar kognitif, bahkan pada proses pekembangan kemampuan kognitif
sekalipun. Mengikuti perkembangan paradigma pembelajaran yang konstruktivis,
sistem asesmen tunggal tidak akurat dari segi tuntutan fungsinya. Asesmen
alternatif perlu dikembangkan untuk melengkapi dan mengisi kekurangan dari
asesmen tunggal semacam ini.
Astin (1993:2) telah menegaskan,
bahwa fungsi asesmen lebih penting daripada hanya sekedar pengukuran. Jika
tindakan asesmen hanya sebatas menghimpun informasi, maka kepentinganya hanya
terbatas pada pengukuran; tetapi jika informasi itu untuk dimanfaatkan bagi
kepentingan lain seperti pengembangan lembaga, individu dan masyarakat yang
berkepentingan maka inilah yang dimaksud dengan tujuan dari tindakan asesmen.
Gambaran tradisi sistem
asesmen yang selama ini berlaku dalam praktik penilaian kuliah di FKIP Unlam
Banjarmasin dapat diilustrasikan seperti pada diagram di halaman berikut ini. Proses ini
berlangsung mengikuti prosedur yang ada dalam Buku Peraturan Akademik FKIP
Unlam. Dosen merupakan sentral penentu keputusan dalam memberikan nilai akhir.
Sumber-sumber informasi yang diperlukan dosen dalam merumuskan dan menentukan
tingkat kelulusan pebelajar berupa: (1) ujian bagian, (2) beberapa tugas
terstruktur dan ditambah tugas mandiri, (3) ujian tengah semester, dan 4) ujian
akhir semester. Informasi lainnya yang terkait dengan sikap dan tingkahlaku
dalam belajar, seperti tingkat kehadiran, kedisiplinan dan atribut lainnya
digunakan sebagai sarana pendukung penilaian, tidak secara mutlak menjadi
pertimbangan dalam keputusan gradasi penilaian.
Prosedur penilaian pada
ujian (bagian, tengah semester dan akhir semester), dilakukan dengan urutan
kegiatan sebagai berikut:
(1)
melancarkan tes
(2)
melakukan skoring
(menggunakan kunci jawaban atau pedoman penskoran/marking scheme).
(3)
membuat daftar skor
hasil ujian.
(4)
mengolah skor hasil
ujian dengan acuan kreteria, dikonversi dalam skala nilai 0-10 atau 0-100.
(5)
membuat daftar gradasi
dalam skala nilai.
Prosedur penilaian pada
hasil penugasan, dilakukan dengan urutan kegiatan sebagai berikut:
(1)
melancarkan tugas
(2)
melakukan skoring
dengan justifikasi berdasarkan rubrik atau pedoman penskoran/marking scheme.
(3)
membuat daftar skor.
(4)
mengkonversi skor ke dalam
nilai skala 0-10 atau 0-100.
(5)
membuat daftar gradasi
dalam skala nilai.
Setelah akhir semester
semua nilai dari komponen ujian bagian, tugas, ujian tengah semester dan ujian
akhir semester diadministrasikan dan kemudian digabungkan. Sebelum digabungkan,
komponen ujian bagian dan komponen tugas dihitung nilai rerata dan hasilnya
digunakan sebagai nilai dari komponen ujian bagian dan tugas yang diberi bobot
3(tiga) dalam komponen nilai akhir. Secara keseluruhan untuk memperoleh nilai
kesimpulan akhir mata kuliah, komponen rerata ujian bagian dan tugas yang
diberi bobot 3(tiga) digabung dengan dua komponen lainnya yaitu komponen ujian
tengah semester dan komponen ujian akhir semester, yang masing-masing komponen
diberi bobot penilaian 3(tiga) dan 4(empat). Nilai akhir diperoleh dengan
membagi jumlah hasil kali nilai tiap komponen dengan bobotnya dibagi dengan
total bobot (yakni 10/sepuluh), atau jika diformulasikan maka:
NA = [ 3 ((UB+NT)/2) + 3 UTS + 4UAS ] / 10 x
100
Gambar 15
Formula
Penentuan Nilai Akhir
Keterangan :
NA : Nilai akhir
UB : Ujian bagian
NT : Nilai tugas
UTS : Ujian tengah
semester
UAS : Ujian akhir semester
Skala yang digunakan untuk NA adalah
0-100. Hasil ini (skala angka) kemudian dikonversikan ke skala huruf A-E,
kaidah skalanya mengikuti Buku Peraturan Akademik UNLAM. Setelah proses ini
selesai, prosedur selanjutnya melaporkan hasil nilai akhir ke Biro Administrasi
Akademik fakultas. Laporan dibuat dalam rangkap 4(empat), satu asli dan 3(tiga)
tembusan. Asli untuk laporan nilai yang diumumkan oleh Fakultas, tembusan
pertama untuk arsip dosen yang bersangkutan, tembusan kedua untuk arsip
fakultas (Biro Administrasi Akademis), tembusan ketiga untuk arsip program
studi.
Keseluruhan
prosedur tersebut jika divisualisasikan kedalam diagram alir dan disebut
sebagai asesmen konvensional (asesmen tunggal) tampak seperti pada gambar
diagram berikut ini.
Keterangan : PAP=Penilaian
Acuan Patokan
Gambar 16
Prosedur Asesmen
Konvensional
Dari formulasi sistem
asesmen konvensional kebutuhan informasi aspek afektif (termasuk kepribadian)
belum dapat terpenuhi. Informasi-informasi tentang aspek afektif penting untuk
dipertimbangkan sebagai komponen penilaian, karena asesmen ditujukan bukan
sekedar untuk menghimpun informasi tetapi ditujukan untuk memenuhi fungsi
diagnostik, untuk melacak kesulitan belajar pebelajar.
Dalam
konteks mendeteksi masukan (input),
lingkungan (environment) sehingga
didapat keluaran (outcome) tertentu sebagaimana diprakarsai oleh Astin, 1993) perlu
dikembangkan asesmen alternatif yang memungkinkan diperolehnya informasi
akurat, konsisten dan valid untuk mendukung tindakan perbaikan pada proses
pembelajaran, sehingga didapat ketegasan dan kejelasan bentuk bantuan,
bimbingan dan jika perlu pengayaan akan proses belajar pebelajar
sehingga pencapaian target kompetensi dapat diperoleh. Pada sistem
asesmen tunggal tindakan demikian memang tidak menjadi acuan, sehingga laporan
nilai akhir merupakan tindakan akhir dari asesmen dan tidak dimungkinkan untuk
dapat melacak tentang kesulitan proses belajar pebelajar, karena informasi
untuk itu tidak diperoleh selama pembelajaran. Oleh sebab itu gagasan untuk
mengembangkan asesmen alternatif ditujukan untuk kepentingan ini.
Berbagai kendala yang
dirasakan dalam praktik asesmen tunggal sebagaimana diuraikan di atas,
berimplikasi hasil keputusan dosen terhadap atribut pemberian nilai kompetensi
pebelajar mengandung bias, artinya dimungkinkan adanya penyimpangan atas
keputusan yang terjadi dengan keputusan yang seharusnya diambil. Pertama,
keputusan mengenai status kompetensi seseorang pebelajar bisa melebihi dari
nilai keputusan yang seharusnya dan bisa juga sebaliknya kurang dari nilai
keputusan yang seharusnya. Kedua,
berimplikasi adanya tindakan-tindakan yang seharusnya dilakukan untuk perbaikan
atau pengayaan tidak memberikan sinyal yang tepat bagi kepentingan pengembangan
program bantuan oleh dosen sendiri maupun lembaga (dalam hal ini program studi
yang bersangkutan). Ketiga, efek psikologis yang negatif kepada pebelajar
menimbulkan rasa apatis dan tidak menaruh hormat pada keputusan akan penilaian
maupun kepada pembina kuliah. Inilah yang oleh Keeves (1999:235) dikatakan
telah terjadi kesalahan pengukuran. Sumber kesalahan pengukuran antara lain:
(1) variabilitas keputusan yang dibuat oleh pengamat, (2) variabilitas yang
dibuat atau keputusan akibat penggunaan instrumen pengamatan, dan (3)
variabilitas dalam karakteristik dari subyek yang diukur atau diamati.
Kejadian kesalahan
semacam ini berimplikasi selain merugikan diri pebelajar, juga berakibat kepada
tidak mantapnya fidelitas (fidelity)
yang menjamin kepuasan akan pengukuran memenuhi unidimensionalitas dan
keyakinan akan kecukupan rentang dari manifestasi karakteristik obyek yang
diamati (bandwidth). Praktik asesmen tunggal semacam ini sebagai
salah satu sumber penyebab target kompetensi tak memenuhi standard dan
menimbulkan kemampuan unjuk kerja belum sesuai harapan (kemampuan transfer
belajar lemah, penguasaan kemampuan pemecahan masalah rendah, dan belum berani
tampil praktik mengajar untuk bidang studi Akuntansi, dan semacamnya).
Gagasan untuk mengatasi
bias asesmen tunggal dirancang asesmen alternatif dan dipreskripsikan model
asesmen teman sejawat (peer assessment)
yang memiliki beberapa keunggulan, antara lain dapat meningkatkan keterlibatan
pebelajar dalam asesmen yang pada gilirannya dapat mendorong munculnya rasa
tanggungjawab diri pebelajar pada keberhasilan belajar.
E. Asesmen Teman Sejawat (Peer Assessment)
1. Rasional Model Asesmen Teman Sejawat
Gagasan Model Asesmen
Teman Sejawat (MATS), sebagai sistem asesmen formal atau asesmen alternatif
yang akan dikembangkan ditujukan untuk meningkatkan validitas, konsistensi dan
keajegan serta fidelitas maupun bandwidth
dari hasil nilai akhir sehingga memenuhi tujuan yang melatar belakangi
perlunya evaluasi, yakni (1) akontabilitas (accountability)
yang merujuk kepada keputusan yang telah dibuat oleh otoritas kekuasaan seorang
pengajar, dan (2) asesmen (assessment)
yang merujuk kepada kemampuan pengajar yang mantap dalam rangka tujuan koreksi
sendiri dan perbaikan (self-correction
and improvement); sebagaimana dikemukakan oleh Hansen dari Western
Washington University.
MATS dikembangkan untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan
belajar kemampuan pemecahan masalah. MATS sebagai sistem asesmen dirancang
untuk memenuhi kekurangan yang terjadi pada asesmen konvensional seperti telah
diuraikan di muka.
Pendapat para ahli berikut dapat digunakan sebagai landasan
untuk mendukung gagasan ini. Melibatkan pebelajar berpartisipasi dalam
melakukan penilaian (rating) menurut
Gronlund & Linn (1990:396) memberikan beberapa keuntungan.
Keuntungan-keuntungan itu dapat membantu pebelajar untuk (1) mengerti lebih
baik tujuan-tujuan pembelajaran, (2) menyadari kemajuan-kemajuan yang telah
diperbuat untuk mencapai tujuan, (3) mendiagnosa secara efektif kekuatan-kekuatan
dan kelemahan tertentu, dan (4) mengembangkan peningkatan ketrampilan dalam
penilaian diri (self evaluation) pebelajar.
Sejalan dengan pendapat
sebelumnya Johnson & Johnson (2002:4-5) memperkuat pendapat tersebut
dengan menyatakan, bahwa alasan-alasan melibatkan pebelajar dalam kegiatan
asesmen, antara lain: (1) dapat meningkatkan kualitas keputusan yang diambil
tentang asesmen akibat memanfaatkan sumberdaya pebelajar sebagaimana pengajar,
(2) dapat meningkatkan komitmen pebelajar untuk menerapkan cara asesmen yang
terbaik, (3) dapat mengurangi sikap resisten pebelajar terhadap umpanbalik dan
perlunya perubahan, (4) dapat meningkatkan prestasi pebelajar, (5) dapat
mendorong motivasi yang besar untuk belajar dan membangun sikap belajar yang
positif dan asesmen, dan (6) dapat meningkatkan asesmen diri (self-assessment) pebelajar.
Dalam MATS ini selain kawasan kognitif, asesmen dapat dilakukan
terhadap kawasan psikomotor, kawasan afektif dan kepribadian. Perilaku kawasan
kognitif adalah perilaku yang merupakan hasil proses berpikir atau hasil kerja
otak. Kemampuan manusia dalam kawasan kognitif oleh Gagne (1979) dibagi menjadi
tiga macam, yaitu: keterampilan intelektual, strategi kognitif, dan informasi
verbal (Suparman, 2001:108).
Sementara itu perilaku kawasan psikomotor, merupakan perilaku
yang dimunculkan oleh hasil kerja fungsi tubuh manusia. Bentuknya dalam gerakan
tubuh. Perilaku kawasan psikomotor oleh Dave (1967) dibagi dalam lima jenjang,
yaitu: menirukan gerak, memanipulasikan kata-kata menjadi gerak, melakukan
gerak dengan tepat, merangkaikan berbagai gerak, dan melakukan gerak dengan
gerak wajar dan efisien (Suparman, 2001:109).
Perilaku berikutnya kawasan afektif, adalah perilaku yang
dimunculkan seseorang sebagai pertanda kecenderungannya untuk membuat pilihan
atau keputusan untuk beraksi di dalam lingkungan tertentu. Bloom dan Masia
(1964) membagi kawasan ini menjadi lima tingkatan, yaitu: menerima nilai,
membuat respon terhadap nilai, menghargai nilai-nilai yang ada, mengorganisasikan
nilai, dan mengamalkan nilai secara konsisten atau karakterisasi (Suparman,
2001:109).
Pendeteksian pada kawasan selain kawasan kognitif memungkinkan
bagi dosen untuk melihat tahapan pencapaian kemajuan kompetensi dan sekaligus
dapat melihat kelemahan-kelemahan yang dialami pebelajar secara individual, dan
lebih lanjut dapat dimungkinkan adanya bentuk bantuan, pembinaan, bimbingan
yang konkrit, operasional dalam upaya meningkatkan proses pembelajaran
pebelajar. Gejala yang timbul karena
sikap, dan perilaku seseorang yang muncul karena manifestasi dari sikap, tdak
dapat dideteksi dengan asesmen tunggal, maka dari itu harus didekati dengan
asesmen alternatif sebagai pilihan lainnya. MATS dipreskripsikan dan
diprediksikan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pencapaian
kompetensi pebelajar, dalam hal ini adalah kompetensi kemampuan pemecahan
masalah di bidang Akuntansi.
Sebagaimana dinyatakan oleh Johnson & Johnson (2002:2),
bahwa asesmen dapat saja dilakukan tanpa evaluasi tetapi tidak akan mungkin
melakukan evaluasi tanpa melakukan asesmen. Asesmen idealnya dilakukan secara
terus-menerus, sedangkan evaluasi boleh jadi dilakukan cukup hanya sekali
waktu. Kualitas asesmen pada umumnya akan menentukan kualitas evaluasi. Dengan
demikian asesmen meliputi pengumpulan informasi tentang kualitas atau kuantitas
dari perubahan-perubahan pada diri pebelajar, kelompok, kelas, sekolah,
pengajar, dan administrator/tata usaha.
Efektivitas asesmen tergantung pada penggunaan seminimal mungkin
dari sumber-sumber untuk: (1) mencapai tujuan dari asesmen, (2) pemeliharaan
yang efektif hubungan kerja di antara pelaksana asesmen, yang diases dan semua
yang berkepentingan, (3) peningkatan motivasi dari semua bagian untuk
berpartisipasi terhadap asesmen kedepan.
Efektivitas asesmen juga bisa menurun kapan saja, juga akibat dari
ketiga aspek tersebut (pencapaian tujuan, pemeliharaan hubungan kerja dan
motivasi berpartisipasi untuk asesmen kedepan).
Masalah utama yang berhubungan dengan pelaksanaan asesmen adalah
bagaimana membuat asesmen bermakna, memberi manfaat dan bagaimana asesmen dapat
dikelola dengan baik. Agar asesmen
bermakna maka asesmen harus: (1) dirasakan kebutuhannya oleh pengguna
(pebelajar dan pengajar) yang sama-sama punya tujuan, (2) mudah dimengerti prosedurnya,
kreteria, maupun penggunaan rubriknya, (3) jelas arahnya untuk meningkatkan
kualitas belajar dan pengajaran (Johnson & Johnson, 2002:3).
Selain asesmen harus bermakna, asesmen juga dapat dikelola dalam
memberikan informasi yang bermanfaat dengan pengorbanan sumberdaya secara
minimal. Dua hal penting terkait dengan masalah pengelolaan ini adalah (1)
tersedianya sumberdaya yang cukup memadai untuk memenuhi tuntutan prosedur
asesmen, (2) nilai informasi yang diperoleh seimbang dengan biaya yang dikeluarkan
untuk kegiatan asesmen (Johnson & Johnson, 2002:3). Secara ringkas dapat
dirangkumkan dalam diagram tentang asesmen yang bermakna seperti berikut.
Gambar 17
Asesmen Bermakna
(Meaningfull Assessment)
adaptasi dari
Johnson & Johnson (2002:4)
Beberapa
ahli yang mendukung adanya asesmen teman sejawat adalah Farh, Cannella, &
Bedeian, 1991; Fry, 1990; Goldfinch & Raeside, 1990 (Keaten, Richardson
& Elizabeth, 1993:5) yang menunjukkan optimisnya dalam penggunaan praktis
asesmen teman sejawat di mana pebelajar akan dapat menemukan bukan saja
menerima rasa tanggungjawab tetapi juga dapat menilai secara lebih akurat daripada
profesornya. Ditegaskan, bahwa prosesnya memang berlaku khusus untuk penilaian
kerja kelompok bukan untuk kelas paralel. Bahkan dengan asesmen teman sejawat
pebelajar dapat menilai pekerjaannya maupun pekerjaan sejawatnya yang sama-sama
terlibat yang berlangsung pada waktu di dalam kelas maupun di luar kelas.
Pertanyaan mendasar yang muncul adalah kapan asesmen teman sejawat
tepat digunakan? Kane dan Lawler, 1978 (Keaten, Richardson & Elizabeth,
1993:5) mengutip bahwa asesmen teman sejawat cocok digunakan jika salah satu
atau lebih dari kondisi berikut ditemukan:
(1)
keberadaan anggota
kelompok sejawat semuanya saling dapat berusaha memperhatikan aspek tingkahlaku
yang mencolok.
(2)
keberadaan anggota
kelompok sejawat mampu dengan teliti menilai dan menginterpretasikan aspek
tingkahlaku mencolok yang diperhatikan.
(3)
adanya kebutuhan untuk
meningkatkan manfaat yang berhubungan
dengan satu atau beberapa karakteristik dari anggota kelompok yang sedang
diases.
Perlu disadari bahwa penerapan asesmen teman sejawat dalam
prosesnya selain ditentukan oleh tiga kondisi ini juga dipengaruhi oleh
variable-variabel lain, seperti system penilaian, sikap pebelajar terhadap
asesmen dan validitas dari asesmen teman sejawat itu sendiri.
2. Definisi Asesmen Teman Sejawat (Peer Assessment)
Dilatari oleh pernyataan Assessment Reform Group, 2002 (Clarke,
2005:84) berikut, tampak substansi pengertian asesmen teman sejawat (peer assessment):
Independent learners have
the ability to seek out and gain new skills, new knowledge and new
understandings. They are able to engage in self-reflection and to identify the
next steps in their learning. Teachers should equip learners with the desire
and the capacity to take charge of their learning through developing the skills
of self-assessment.
Artinya
kebebasan pebelajar memiliki kemampuan untuk meningkatkan ketrampilan yang
baru, pengetahuan baru dan pengertian yang baru. Mereka dapat terlibat dalam
merefleksi diri dan mengidentifikasi tahapan belajar berikutnya. Dosen/guru
harus memenuhi keinginan pebelajar dan kapasitas untuk mengambil bagian dalam
belajarnya melalui pengembangan ketrampilan dari asesmen tentang dirinya.
Penilaian diri, penilaian teman sejawat dan umpan balik serta marking menunjukkan betapa pentingnya
hal-hal tersebut secara bersama saling melengkapi. Pebelajar dilibatkan dalam
penilaian antar teman dimaksudkan untuk memberi umpan balik kepada pebelajar
yang lain, peer marking merupakan
penilaian antar teman, dan marking
dari pengajar adalah umpan balik.
Dengan demikian asesmen teman sejawat pada hakikatnya
adalah bentuk asesmen untuk memperoleh informasi balikan dari hasil kerja
pebelajar yang didapat dari teman sejawat, selain yang sudah lazim yakni
balikan dari pengajar.
Keaten, Richardson, & Elizabeth, (1993:3) mendefinisikan
asesmen teman sejawat: … the process in
which students evaluate each other, is a practice that can foster high level of
responsibility among students; the students must be fair and accurate with the
judgements they make regarding their peers.
Clarke (2005:84) mengakui bahwa cara marking dari sesama pebelajar kurang
bernilai daripada yang dilakukan pengajar, meskipun demikian kebiasaan ini
perlu dilanjutkan. Black et al, 2003 (Clarke, 2005:88) justru menegaskan
penilaian teman sejawat merupakan umpan balik yang efektif selama proses
belajar berlangsung, karena pebelajar lebih bebas saling menerima dan memberi
kritik daripada cara-cara dari
pengajar-pebelajar atau sebaliknya. Keuntungan lain bahasa yang digunakan
alami, sesuai dengan yang digunakan sehari-hari daripada bahasa sekolah. Dalam
kondisi demikian pebelajar lebih dapat melakukan analisis dan menerima kritik
yang membangun guna perbaikan cara kerjanya. Jika kritik dan umpan balik hanya
dari pengajar, pebelajar akan kehilangan daya (power) dalam belajarnya. Ditegaskan lagi oleh Dyck (2003) yang
menyatakan bahwa guru-guru adalah direktur utama dari asesmen.
Penelitian-penelitian dewasa ini mengindikasikan bahwa guru-guru mulai
menggabungkan asesmen teman sejawat kedalam keseluruhan prosedur evaluasinya.
3. Asesmen Teman Sejawat Dalam Kerangka
Asesmen
Asesmen teman sejawat (peer assessment) mulai berkembang di kalangan peneliti pendidikan
mengikuti perkembangan jenis-jenis asesmen alternatif lainnya karena
kemanfaataannya sebagai sarana untuk memberikan balikan kepada pebelajar cukup
signifikan. Sebagaimana telah diungkap
di atas bahwa asesmen teman sejawat memiliki segi positif selain memberikan
balikan yang konstruktif, dari segi bahasa asesmen ini lebih memungkinkan
berlangsung alami dalam cara dan suasana komunikasi sosial pebelajar sehingga
lebih dapat dipahami. Bahkan Black,
Harrison, Marshal dan Williams (2004) menyatakan asesmen teman sejawat dapat
meningkatkan belajar karena meletakan pekerjaan (evaluasi) pada siswa-siswa. Konsekuensinya
guru-guru menyediakan waktu untuk meningkatkan refleksi asesmen dari
performansi dan kecakapan siswa-siswanya.
Asesmen teman sejawat dapat dikatagorikan sebagai asesmen
alternatif atau asesmen autentik maupun asesmen kinerja. Yang dimaksud adalah
asesmen lain sebagai pilihan alternatif untuk melengkapi asesmen yang sudah
umum digunakan. Sebagai asesmen
alternatif, asesmen teman sejawat dapat dikategorikan dalam kelompok asesmen
kinerja dan dalam kawasan asesmen kelas (classroom
assessment). Karena obyek dari
asesmen teman sejawat adalah performasi kinerja tentang proses maupun hasil
belajar dari sejawat.
Ditilik dari fungsinya untuk memberikan balikan terhadap
hasil belajar ketika proses belajar berlangsung, maka asesmen teman sejawat
termasuk asesmen formatif. Asesmen
formatif adalah asesmen yang dilakukan selama proses pengajaran berlangsung.
Informasi didapat dengan cara melakukan observasi yang tujuannya untuk
memberikan informasi kepada pengajar dan merupakan bentuk pengubahan strategi
penyampaian pengajaran (Airasian, 1997, Smith, Smith, & DeLisi, 2001 dalam
Anderson, 2003:45).
Sebagai asesmen alternatif karakteristik asesmen teman
sejawat merupakan lawan dari asesmen tunggal seperti tes pilihan ganda,
benar-salah dan bentuk-bentuk tes obyektif lainnya. Asesmen tunggal hanya
menuntut respon dari pebelajar terhadap satu pilihan jawaban. Lain halnya
asesmen teman sejawat lebih mengacu kepada tampilan kinerja pebelajar, sehingga
kriteria tentang penguasaan kemampuan yang menjadi acuan untuk melakukan
gradasi skor atau pemberian nilai, dan bukan banyaknya respon yang benar. Conant (1997) mengindikasikan bahwa asesmen
teman sejawat (1) menekankan penggunaan keterampilan berpikir tingkat tinggi,
(2) mengembangkan keterampilan sosial, dan (3) menciptakan rasa tanggungjawab
dan pemberdayaan pribadi sendiri pebelajar.
Asesmen tunggal lazimnya digunakan untuk evaluasi
akhir dari suatu program pembelajaran, sedangkan asesmen teman sejawat
dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan diagnosa kesulitan belajar dan
berlangsung selama proses pembelajaran atau untuk evaluasi formatif. Asesmen
teman sejawat sebagai asesmen alternatif dapat berupa berbagai metode asesmen
yang mencerminkan berbagai aktivitas proses belajar, hasil belajar, motivasi,
maupun sikap yang pelaku asesornya adalah sejawat atau teman dari pebelajar.
4. Jenis Metode Asesmen Teman Sejawat
Kane dan Lawler, 1978 (Keaten, Richardson, &
Elizabeth, 1993:3) telah memperkenalkan tiga metode asesmen teman sejawat yakni
(1) peer rating; (2) peer ranking; dan (3) peer nomination. Peer rating adalah metode penilaian teman sejawat di mana tiap
anggota kelompok saling memberi urutan jenjang (rate) tentang sejumlah kinerja atau karakteristik individu dengan
menggunakan salah satu teknik skala lajuan (rating
scales). Peer ranking adalah
metode menilai teman sejawat di mana setiap anggota kelompok melakukan
penjenjangan dari yang terbaik hingga yang terburuk untuk seluruh anggota
kelompok tentang satu atau lebih faktor yang dinilai. Peer nomination adalah metode menilai teman sejawat di mana tiap
anggota kelompok memilih anggota kelompok yang lain yang dianggap terbaik pada
karakteristik hal tertentu dan menurut dimensi kinerja tertentu (Kane dan
Lawler, 1978:557 seperti dikutip Keaten, Richardson, & Elizabeth (1993:3).
Menurut Kane & Lawler, 1978 (Latham & Wexley, 1982:88-89) yang terbaik
digunakan dari ketiga jenis peer
assessment ini, tergantung pada tujuan penggunaannya. Jika untuk mendeteksi
kesulitan belajar pebelajar, peer rating memberikan informasi yang lebih rinci
tentang tahapan kecakapan yang sudah berhasil dan yang masih gagal dicapai oleh
pebelajar dalam belajar. Oleh sebab itu dalam preskripsi asesmen teman sejawat
ini lebih ditekankan pada pengembangan instrument asesmen untuk jenis rating.
5. Unsur-unsur Asesmen Teman Sejawat
Herman, Aschbacher, dan Winters (1992) menyarankan
10(sepuluh) tahap sebagai unsur-unsur proses perancangan asesmen:
(a)
Clearly state the purpose for the assessment, and do
not expect the assessment to meet purposes for which it was not designed.
(b)
Clearly define what it is you want to assess (the
achievement target).
(c)
Match the assessment method to the achievement purpose
and target defined in step2.
(d)
Specify illustrative tasks that require students to
demonstrate certain skills and accomplishments. Avoid tasks that may be merely
interesting activities for students, but may not yield evidence of a student’s
mastery of the desired outcomes.
(e)
Specify the criteria and standards for judging student
performance on the tasks selected in step 4. Be as specific as possible, and
provide samples of student work that exemplify each of the standards.
(f)
Develop a reliable rating process that allows
different raters at different points in time to obtain the same-or nearly the
same-results, or allows a single teacher in a classroom to assess each student
using the same criteria.
(g)
Avoid the pitfalls that threaten reliability and
validity and can lead to mismeasurement of students.
(h)
Collect evidende/data showing that the assessment is
reliable (yields consistent results) and valid (yields useful data for the
decisions being made)
(i)
Ensure “consequential validity.” That is, the
assessment should have a maximum of positive effects and a minimum of negative
ones.
(j)
Use test results to refine assessment and improve curriculum
and instruction; provide feedback to students, parents, and the community.
Sementara itu Beyer (1999:91-94) menuliskan
unsur-unsur yang harus dikerjakan dalam melakukan asesmen untuk kecakapan
berpikir (thinking skills):
(1)
Pemilihan tipe
prosedur atau instrumen yang diinginkan untuk digunakan mengases kecakapan yang
telah diajarkan.
(2)
Menganalisa
contoh-contoh dan penjelasan dari jenis tes, instrumen asesmen, atau
langkah-langkah yang akan digunakan.
(3)
Merancang (draft) instrumen untuk kecakapan yang sudah
dipilih untuk diajarkan.
(4) Memeriksa ulang dan melakukan revisi
rancangan (draft).
(5) Mengadministrasikan tes, instrumen,
melaksanakan prosedur sesuai dengan kecakapan yang diajarkan, analisis
hasilnya, dan melakukan revisi untuk digunakan kemudian.
Asesmen alternatif mengharuskan
pebelajar dapat mempertunjukkan kinerja, bukan menjawab benar-salah atau
memilih jawaban dari sederetan kemungkinan jawaban yang sudah tersedia seperti
pada asesmen tunggal berupa tes baku. Asesmen yang demikian ini disebut dengan
asesmen kinerja, karena dengan cara
demikian itu pebelajar diharapkan dapat menunjukkan penguasaannya tentang
kemampuan yang dipelajarinya. Sejalan dengan ini Hibbard dkk, (1996:5)
sebagaimana dikutip oleh Brualdi (1998) menyatakan bahwa asesmen kinerja ‘represent a set of strategies for
the...application of knowledge, skills, and work habits through the performance
of tasks that are meaningful and engaging to students”. Untuk sarana
pebelajar menunjukkan kemampuannya, maka diperlukan serangkaian tugas sebagai task dan kriteria untuk menilai
penyelesaian tugas itu yang disebut dengan rubric. Rubric sebagai sarana untuk
melakukan penilaian tugas, disusun pengajar bersama dengan pebelajar untuk
disepakati sebagai tolok ukur penilaian. Jo Anne Wangsatorntanakhun (1997)
sebagaimana dikutip oleh Asmawi Zainul (2001:9) menyatakan, bahwa asesmen
kinerja terdiri dari dua bagian yaitu “clearly
defined task and a list of explicit criteria for assessing student performance
or product”.
Asumsi pokok yang melandasi asesmen
kinerja adalah (1) asesmen kinerja didasarkan pada partisipasi aktif pebelajar,
(2) tugas-tugas yang diberikan atau dikerjakan oleh pebelajar merupakan bagian
tak terpisahkan dari keseluruhan proses pembelajaran, (3) asesmen tidak hanya
untuk mengetahui posisi pebelajar pada suatu saat dalam proses pembelajaran,
tetapi lebih dari itu, asesmen juga dimaksudkan untuk memperbaiki proses
pembelajaran itu sendiri, dan (4) dengan mengetahui lebih dahulu kriteria yang
akan digunakan untuk mengukur dan menilai keberhasilan proses pembelajarannya,
pebelajar akan secara terbuka dan aktif berupaya untuk mencapai tujuan
pembelajaran.
Lebih lanjut Lynn S. Fuchs (1995)
dalam Asmawi Zainul (2001:10) menjelaskan bahwa asesmen kinerja dapat
memperbaiki proses pembelajaran, karena asesmen kinerja membantu dosen untuk
membuat keputusan-keputusan selama proses pembelajaran sedang berjalan.
Keputusan-keputusan itu menyangkut (1) penempatan, (2) formatif, dan (3)
diagnostik. Ketiga keputusan ini dapat dimanfaatkan dalam memperbaiki selama
proses pembelajaran berlangsung.
Beranjak dari pemahaman bahwa
asesmen alternatif merupakan upaya untuk mengintegrasikan kegiatan pengukuran
hasil belajar dengan keseluruhan proses kegiatan pembelajaran, maka banyak
pilihan-pilihan teknik yang tersedia dan bahkan mungkin masih perlu
dikembangkan untuk mendeteksi proses belajar pebelajar sehingga semakin akurat
informasi serta keputusan yang dapat dibuat karenanya.
(1) Tugas dan Rubrik.
Tugas dikatakan sebagai task dengan kriteria penilaiannya berupa
rubrik. Bentuk-bentuk tugas dapat berupa suatu proyek, pameran, portofolio,
atau tugas yang mengharuskan pebelajar memperlihatkan kemampuan menangani
hal-hal yang kompleks melalui penerapan dan keterampilan nyata. Rubrik
merupakan sarana panduan atau pedoman untuk memberi skor, yang jelas dan
disepakati oleh dosen dan pebelajar.
Dalam mempersiapkan task atau tugas ada 3(tiga) langkah
utama yaitu:
(a) mengidentifikasi pengetahuan dan keterampilan
yang diharapkan dapat dimiliki oleh pebelajar setelah mengerjakan tugas, yang
meliputi (1) jenis pengetahuan dan
keterampilan yang diharapkan, (2) pengetahuan dan keterampilan bernilai tinggi
untuk dipelajari, (3) penerapan pengetahuan dan keterampilan tersebut memang
terdapat dalam kehidupan nyata di masyarakat.
(b) merancang tugas-tugas yang memungkinkan
pebelajar dapat menunjukkan kemampuan berpikir dan keterampilan.
(c) menetapkan kriteria keberhasilan yang dijadikan
tolok ukur untuk menyatakan seseorang pebelajar telah mencapai tingkat
penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang diharapkan.
Asesmen kinerja tidak menggunakan
kunci jawaban dalam menentukan skor, melainkan menggunakan pedoman penskoran
berupa rubrik. Untuk menjamin reliabilitas, keadilan dan kebenaran penilaian
maka perlu dikembangkan kriteria atau rubrik untuk pedoman menilai hasil kerja
pebelajar. Rubrik dapat disusun bersama dengan pebelajar, sehingga jelas dasar
yang dipakai untuk menilai kinerjanya dan dengan mengetahui target yang harus
dipenuhi dalam tugasnya pebelajar akan termotivasi proses belajarnya. Rubrik
pada dasarnya berisi senarai tentang daftar kriteria yang diwujudkan dengan
dimensi-dimensi kinerja, aspek-aspek atau konsep-konsep yang akan dinilai
beserta gradasi mutu dari yang paling sempurna hingga yang paling tidak
sempurna.
Ada dua macam rubrik, yakni
holistik rubrik dan analitik rubrik. Holistik rubrik adalah rubrik yang
bersifat menyeluruh artinya satu rubrik dipakai untuk pedoman menilai semua
aspek atau komponen hasil kerja pebelajar; sedangkan rubrik analitik adalah
rubrik yang disusun sesuai dengan tiap-tiap komponen yang bersesuaian antara
pedoman penskoran dan dimensi kinerja yang diukur, sehingga dimungkinkan dalam
satu unit pengajaran terdiri dari beberapa rubrik yang berbeda-beda panduan
penskorannya. Rubrik dapat dikembangkan berdasarkan dua standart, yakni
standart isi dan standart yang berkaitan dengan dimensi belajar.
(2). Log
dan Jurnal
Johnson
& Johnson (1998) menyebutnya ‘log dan jurnal belajar’ merupakan sarana
kunci bagi pebelajar untuk mendokumentasikan dan merefleksikan pengalaman
belajarnya (Johnson & Johnson, 2002:201).
(a) Pengertian Log dan Jurnal
Belajar
Log dan jurnal belajar, digunakan pebelajar untuk membuat laporan
pribadi (self-report) yang isinya
memuat catatan ringkas tentang materi pelajaran yang sedang dipelajarinya.
Hal-hal yang dimasukkan dalam log
antara lain mencakup materi pelajaran tentang: 1) apa yang sudah dibaca, 2)
hasil pengamatan dari kegiatan percobaan, 3) pemecahan masalah yang matematis,
4) daftar bacaan yang telah dibaca di luar yang dipersyaratkan, 5) pekerjaan
rumah yang telah diselesaikan, 6) atau catatan tentang sesuatu yang lain karena
pinjam-meminjam.
Jurnal
belajar merupakan prosedur laporan pribadi dalam mana pebelajar
mencatat secara naratif terkait dengan materi pelajaran yang sedang
dipelajarinya. Isinya bisa menyangkut hasil pengamatan pribadi, perasaan dan
pendapat sebagai respon dari kegiatan membaca, atau suatu peristiwa/kejadian
dan pengalaman. Jurnal adalah koleksi pribadi berupa catatan dan pemikiran yang
bernilai bagi penulisnya tentang apa yang telah dipelajarinya dan yang sangat
relevan dengan pribadinya. Isi jurnal berhubungan dengan apa yang telah
dipelajari di dalam kelas dengan kelas lainnya, dan atau dengan lingkungan
masyarakat di luar kelas. Jurnal sifatnya lebih deskriptif, lebih panjang, dan
lebih leluasa mengisikannya daripada log.
(b) Rasional Penggunaan Log dan
Jurnal
Penggunaan log dan jurnal berguna dan
tepat sebagai alat asesmen, untuk tugas-tugas seperti berikut (Johnson &
Johnson, 2002:21):
(i)
Menelusuri jumlah soal yang sudah
dipecahkan, buku yang telah dibaca, atau pekerjaan rumah yang telah
terselesaikan.
(ii)
Mencatat pelajaran, tayangan,
persentasi, kuliah lapangan, percobaan, tugas membaca 1) gagasan pokok, 2)
pertanyaan, dan 3) refleksi.
(iii)
Merespon pertanyaan yang diajukan
dosen atau pebelajar lainnya.
(iv)
Langkah lanjutan dari kegiatan
percobaan; cuaca, di sekolah, nasional, atau kejadian dunia, atau peristiwa
sejarah dan 1) memantau perkembangan waktu, atau 2) membuat perkiraan tentang
apa yang akan terjadi kelak.
(v)
Menghubungkan gagasan yang muncul
dengan kawasan materi yang lain.
(vi)
Curah pendapat gagasan tentang
proyek yang potensial, kertas kerja, atau presentasi.
(vii)
Identifikasi masalah dan mencatat
teknik-teknik pemecahan masalah.
(viii)
Menerapkan apa yang telah
dipelajari di kelas pada salah satu kehidupan pribadi yang nyata.
(ix)
Menggunakan apa yang telah
dipelajari di kelas untuk klarifikasi, memperbarui, dan merefisi suatu teori
yang disesuikan dengan situasi.
(c) Tujuan Penggunaan Log dan Jurnal
Tujuan
penggunaan log dan jurnal belajar:
(i)
Untuk menelusuri kegiatan yang
berkaitan dengan pengajaran (apa yang harus dikerjakan untuk membuat sesuatu
bermanfaat dalam mengajar).
(ii)
Untuk menjawab secara tertulis
beberapa pertanyaan penting secara jelas dari isi pengajaran (ini hanya
disarankan, tergantung pada pilihan anda)
(iii)
Untuk menghimpun pemikiran yang berkaitan
dengan isi pengajaran (pemikiran terbaik acapkali muncul ketika anda sedang
dalam perjalanan menuju sekolah, atau terkadang saat akan tidur malam, dan lain
sebagainya)
(iv)
Untuk menghimpun berita surat kabar
atau artikel majalah dan referensi yang relevan dengan topik pelajaran.
(v)
Untuk memantau ringkasan dari
pembicaraan dan bahan catatan yang unik, menarik, atau suatu ilustrasi yang
berhubungan dengan pelajaran.
(vi)
Untuk menghimpun
pemikiran-pemikiran yang menarik, artikel-artikel, dan pembicaraan yang tidak
ada hubungannya dengan pelajaran tetapi penting bagi anda.
(d)
Petunjuk Penggunaan Log dan Jurnal
Dalam menggunakan log dan jurnal,
pebelajar diminta:
(i)
menulis sebuah jurnal paling tidak
meliput satu masukan (entry) tiap
minggu.
(ii)
meringkaskan apa yang telah
dipelajari di kelas dalam seminggu terakhir ini.
(iii)
menguraikan apa saja yang dianggap
penting dari pengalaman mereka selama seminggu ini, meliputi: 1) hakikat dari
situasi itu; 2) orang-orang yang pernah terlibat; 3) hubungan-hubungan di
antara partisipan (orang yang terlibat); 4) strategi yang digunakan untuk mengelola situasi itu; 5)
pengalaman-pengalaman yang dirasakan; 6) outcome yang dihasilkan dari
kegiatan-kegiatan itu.
(iv)
Dari uraian tadi, diminta
meringkaskan secara implisit teori-teori kegiatan yang membimbing tingkah laku
mereka.
(v)
menggunakan apa yang telah
dipelajari di kelas untuk mendeskripsikan bagaimana pebelajar dapat berusaha
lebih efektif dan dengan cara yang konstruktif, termasuk bagaimana pebelajar
akan mengubah aksi dari teori-teorinya.
(e)
Penerapan Log dan Jurnal
Log dan jurnal belajar pada umumnya
dipakai sebagai salah satu cara asesmen formatif. Penggunaan log dan jurnal
belajar memang sulit untuk merancang point nilainya atau melakukan gradasinya,
tetapi hal itu dapat dilakukan.
(i)
Rancang tugas-tugas pebelajar yang
dipantau dengan jurnal atau log
berkaitan dengan isi dari pelajaran.
Jelaskan apa arti jurnal itu. Tekankan tujuan kerjasama untuk meyakinkan
semua anggota kelompok menggunakan jurnal sehingga dapat digunakan untuk melakukan
spesifikasi kriteria.
(ii)
Beritahukan kepada pebelajar kapan
mereka memulai mengisinya, bagaimana mereka harus menuliskannya, seberapa lama
rentang waktu harus mengisikan, dan bagaimana mereka akan saling berbagi untuk
mengisi dengan anggota kelompoknya dan dengan pengajar, dan bagaimana isian
jurnal itu akan diases, dan kapan batas akhir dari jurnal itu harus berhenti
diisi.
(iii)
Tunjukan kepada pebelajar contoh
atau model dari jurnal atau log yang sudah lengkap, dari contoh yang terbaik
dan contoh yang terjelek. Pebelajar perlu mengembangkan kerangka sebagai
referensi untuk kesepakatan jurnal atau log yang dipakai.
(iv)
Setelah pebelajar mengembangkan 1)
kriteria khusus untuk mengases kualitas dari jurnal atau log yang lengkap, 2)
indikator-indikator yang terbaik, menengah, dan yang kualitasnya jelek; ajari
pebelajar salah satu rubrik standar apakah yang dibuat pengajar, sekolah,
daerah atau dari pusat.
(v)
Setelah pebelajar mengkonstruksi
jurnal atau log mereka, bantu mereka cara mengisinya secara langsung atau
diberi bimbingan. Pertama, isian dilakukan pada kegiatan sesi di kelas.
Kemudian di setiap sesi kelas berikutnya, berikan bimbingan langsung, arahkan,
atau beri prosedur cara mengisinya.
(vi)
Usahakan pebelajar saling berbagi
dalam mengisi jurnal dan log di antara anggota-anggota dalam kelompoknya pada
situasi tertentu (tiap hari, duakali seminggu, atau satukali seminggu).
(vii)
Usahakan perputaran jurnal dan log
mereka secara berkala untuk diberikan umpan balik oleh pengajar atau diberikan
gradasi nilai tentang jumlah dan kualitasnya.
(viii)
Usahakan semua pebelajar melengkapi
dengan asesmen diri (self assessment) pada jurnal atau log mereka sebelum ditentukan kriterianya.
(ix)
Usahakan, pebelajar bekerjasama
dengan kelompoknya dan dibantu pengajar untuk menuliskan ulang jurnal dan
lognya menjadi portofolio.
(f) Cara
Mengases Log dan Jurnal
Kualitas log dan jurnal dapat dilakukan dengan
dua cara. Pertama, kriteria keunggulan untuk skala masukan ulang. Metode ini
terdiri dari 4(empat) langkah: (i) menspesifikasi sejumlah kriteria kualitas,
(ii) mengembangkan indikator-indikator untuk tampilan kinerja tinggi, menengah
dan rendah, (iii) melakukan penskalaan (rating) log dan jurnal pebelajar pada
setiap kriteria, dan (iv) mejumlahkan semua skala pada setiap kriteria untuk
menentukan skore total.
Kedua, menandai point nilai untuk
tiap kriteria. Metode ini untuk mengases jurnal atau log yang memungkinkan anda
untuk memberikan perbedaan skala dengan berbeda bobot.
Apapun pilihan cara mengases log
dan jurnal, penggunaan log dan jurnal kuliah dilandasi oleh alasan-alasan yang
rasional. Beberapa alasan penggunaan jurnal dalam kelas: (i) meningkatkan
kesadaran pebelajar dari teori aksi pebelajar; (ii) membuat justifikasi tentang
kefektifan dari teori aksi pebelajar; (iii) memperbarui atau memperbaiki teori
aksi berdasarkan apa yang telah dipelajari di kelas.
5. Penerapan Asesmen Teman Sejawat
Asesmen
teman sejawat (peer assessment)
termasuk kategori asesmen kinerja, karena yang menjadi tolok ukur dari obyek
yang diamati oleh sejawat adalah tampilan kinerja dari individu yang diamati. Karakteristik
asesmen sejawat dalam banyak hal sama dengan karakteristik asesmen kinerja,
yang membedakan dengan asesmen alternatif jenis lainnya adalah prosedur
pengukurannya, yakni menggunakan sejawat. Asesmen
kinerja atau ‘performance assessment’
ditilik dari istilahnya merujuk kepada penggunaan yang berbeda terhadap
pendekatan penilaian. Fitzpatrick dan Morison, 1971 (Dirjen Dikdasmen,
Dirtendik, Depdiknas, 2003:55) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang sangat
besar antara asesmen kinerja dengan tes lainnya yang dilaksanakan di dalam
kelas. Perbedaan antara asesmen kinerja dengan tes lain yang konvensional
adalah sejauh mana tes itu dapat mensimulasikan situasi dari kriteri-kriteria
yang diharapkan. Rudner, &
The term alternative
assessment was coined to distinguish it from what it was not: traditional
paper-and-pencil testing. There are even now distinctions within performance
assessment, a distinction which refers to the fact that some assessments are
meaningful in an academic context whereas others have meaning and value in the
context of the real world, hence they are called “authentic.
Secara eksplisit Trespeces, 1999 (Dirjen Dikdasmen,
Dirtendik, Depdiknas, 2003:55) mengatakan bahwa asesmen kinerja adalah berbagai
macam tugas dan situasi dimana peserta tes diminta untuk mendemonstrasikan
pemahaman dan penerapan pengetahuan yang mendalam, serta ketrampilan di dalam
berbagai macam konteks.
Sejalan dengan ini Asmawi Zainul (2001:4) menuliskan
bahwa asesmen kinerja secara sederhana didefinisikan sebagai penilaian terhadap
proses perolehan, penerapan pengetahuan dan keterampilan, melalui proses
pembelajaran yang menunjukkan kemampuan pebelajar dalam proses maupun produk.
Dengan demikian asesmen kinerja merupakan suatu pendekatan penilaian yang
meminta peserta tes untuk mendemonstrasikan dan mengaplikasikan pengetahuan
kedalam berbagai macam konteks sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Kriteria
dimaksud seringkali dikaitkan dengan situasi kehidupan nyata sehari-hari, dan
karenanya asesmen kinerja yang demikian dikenal dengan istilah autentik asesmen
(authentic assessment). Jadi dalam asesmen autentik selalu
mengkaitkan kriteria dengan tuntutan akan penerapan pengetahuan dan
keterampilan dalam suasana praktik kehidupan sehari-hari dari peserta tes.
Tutuntan akan kriteria yang demikian merupakan
manifestasi dari tuntutan kompetensi atau kemampuan peserta tes untuk melakukan
unjuk kerja atau demonstrasi tentang tingkat atau derajad penguasaan
kompetensinya.
Pengukuran kemampuan tentang pemecahan masalah dalam
Akuntansi dapat dilakukan dengan meminta unjuk kerja peserta tes melalui pendemonstrasian
dan penerapan pengetahuan dan keterampilan Akuntansi dalam konteks kegiatan
nyata transaksi keuangan dalam lingkup kehidupan badan usaha sehari-hari.
Kinerja individu merupakan performasi maksimal yang
ditunjukkan sebagai akibat dari suatu proses belajar. Penilaian terhadap proses
dan atau karya individu merupakan satu ciri dalam asesmen kinerja karena
sifatnya yang sangat individual, setiap individu dapat menunjukkan kemampuan
kinerjanya secara maksimal mungkin melalui keterlibatannya dalam proses ataupun
pada produk yang dihasilkannya.
6. Keunggulan Dan Kelemahan
Asesmen Teman Sejawat
Keuntungannya:
-
Helps students to become more autonomous, responsible
and involved.
-
Encourages students to critically analyse work done by
others, rather than simply seeing a mark.
-
Helps clarify assessment criteria.
-
Gives students a wider range of feedback.
-
More closely parallels possible career situations
where judgement is made by a group.
-
Reduces the marking load on the lecturer.
-
Several groups can be run at at once as not all groups
require the lecturer’s presence.
Kelemahannya:
-
Students may lack the ability to evaluate each other.
-